Keputusan seseorang meninggalkan iman kepada Yesus merupakan peristiwa yang mengguncang dan mengundang pertanyaan mendalam tentang alasan di baliknya. Apa lagi jika itu dilakukan oleh seorang hamba Tuhan. Di era post-christian ini kita tidak asing dengan berita-berita tentang perpindahan agama, dan mungkin yang paling mengejutkan adalah kisah seorang pendeta yang kehilangan iman Kristennya. Salah satu kasus yang paling terkenal adalah pendeta Joshua Harris, seorang pembicara terkenal pada usia yang sangat muda berkat buku karyanya I Kissed Dating Goodbye, yang banyak menjadi rujukan dalam teladan mengenai hidup dalam kekudusan. Atau seorang yang saya kenal, Ayara (bukan nama sebenarnya). Dulu ia aktif di sebuah gereja Injili, memimpin pujian dengan indahnya di hari Minggu, juga sering hadir dalam kegiatan-kegiatan rutin gerejawi. Namun, belakangan Ayara sudah jarang terlihat di rumah ibadahnya, bahkan tidak pernah lagi terlibat dalam pelayanan. Beberapa teman dekatnya juga kesulitan menghubungi dia. Hingga akhirnya, orangtua Ayara bercerita, “Putri kami sudah meninggalkan imannya. Dia sudah tidak mau ke gereja lagi, tidak mau jadi orang Kristen lagi.
Jiwa yang Rapuh
Kisah-kisah di atas tentu memprihatinkan. Memang tidak mudah memahami mengapa seseorang dapat membuat keputusan meninggalkan imannya kepada Yesus Kristus dan meninggalkan persekutuan dengan saudara-saudari seiman lainnya. Cerita Harris dan Ayara menambah bilangan anak Tuhan termasuk pendeta yang kehilangan iman mereka. Dalam pengalaman terlibat pelayanan selama 28 tahun, beberapa kawan yang saya kenal akrab juga secara terbuka menyangkali iman Kristianinya. Alasannya beragam. Tetapi, saya melihat kerapuhan jiwa adalah salah satu faktor utama yang dapat membuat mereka meragukan keyakinannya kepada Yesus. Meskipun telah mengabdikan hidup untuk melayani Tuhan, mereka tidak luput dari keraguan dan pertanyaan yang muncul dalam perjalanan iman mereka. Ditambah munculnya konflik personal, baik dalam hubungan interpersonal maupun dalam diri sendiri, itu semua dapat menjadi pemicu bagi seseorang meninggalkan iman kepada Yesus.
Dari kesaksian teman-teman saya yang undur dari iman Kristen, konflik dengan anggota gereja, pemimpin rohani, atau bahkan dengan Tuhan sendiri dapat menciptakan perasaan sakit hati, kekecewaan, atau kemarahan. Pengalaman pribadi yang mengecewakan, seperti kegagalan, kesakitan, atau penderitaan yang tidak dapat dijelaskan turut menyumbang alasan mereka meninggalkan iman kepada Yesus. Mengapa Tuhan membiarkan hal-hal buruk terjadi dalam hidup mereka, atau mengapa doa-doa mereka tidak dijawab menyebabkan mereka meragukan keberadaan dan kebaikan Tuhan, yang tiba pada gilirannya menghasilkan perasaan kekecewaan yang mendalam.
Semua dinamika ini menggambarkan kompleksitas dan kerapuhan kemanusiaan. Keraguan iman, konflik personal, ketidakselarasan antara doktrin yang diimani dengan realitas yang dihadapi, dan kekecewan pribadi adalah beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk meninggalkan iman kepada Yesus. Setidaknya ini amatan pribadi saya atas kisah-kisah hidup para sahabat yang meninggalkan Kristus. Situasi ini tentu tidak mudah. Jadi, penting diingat bahwa “menghakimi” bukanlah opsi yang tepat. Mendengarkan dan tetap menjadi teman bagi mereka yang meninggalkan iman adalah sikap yang perlu diusahakan. Ketika ada hamba Tuhan atau kawan-kawan kita yang meninggalkan iman Kristennya, itu bukan alasan bagi kita menyudutkan mereka.
Mungkin saja kita berpikir mereka adalah orang-orang dengan hati seperti tanah yang ada di “pinggir jalan,” “tempat yang berbatu-batu,” atau “yang penuh semak duri” dalam perumpamaan Yesus (baca Matius 13:1-9). Namun, hanya Allah yang tahu dengan pasti kondisi hati mereka yang meninggalkan-Nya. Perumpamaan Yesus tentang empat jenis tanah ini hanya membantu kita mengingat bahwa dalam setiap komunitas Kristen, setiap orang memiliki hati dengan kondisi seperti yang digambarkan dalam perumpamaan penabur. Jika kita saat ini masih setia kepada Tuhan, itu semua hanya oleh karena karya-Nya (Filipi 2:12-13). Kita diajak untuk merawat hati kita sebagai tanah yang subur, yaitu mengizinkan sabda Tuhan tertanam dalam hati kita dan mengimaninya dengan serius.
Situasi seperti apa yang membuat seorang hamba Tuhan, anggota jemaat seperti Ayara dan yang lainnya menjauh dari iman Kristen, bahkan menyangkalinya? Dalam perenungan pribadi saya atas kisah kawan-kawan yang undur itu, rata-rata mereka meninggalkan Yesus bukan karena alasan teologis atau meragukan ketuhanan Yesus Kristus. Dalam situasi ini, alasan-alasan mereka meninggalkan iman Kristen tidak ada hubungannya dengan esensi iman Kristen, seperti kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus. Setelah ditelisik, mereka undur setelah mengalami kekecewaan dan ketidakpuasan yang menyayat-nyayat hati mereka. Ada harapan-harapan kepada Tuhan yang tidak menjadi kenyataan. Ada doa-doa yang tak terkabulkan. Ayara meninggalkan iman karena tak kunjung mendapat pasangan hidup yang sepadan. Ia menyambut pelukan hangat pria tampan nan kaya yang tak seiman, dan melepas rangkulan Juruselamatnya. Setelah lama menanti jawaban doa yang tak kunjung datang, ia memberi kecupan perpisahan pada kekristenan, iman yang dulu ia pegang teguh.
Selagi Masih Ada Waktu
Cerita orang-orang yang undur dari iman pun tidak hanya terjadi pada zaman sekarang. Sejak masa Yesus pun banyak murid yang berhenti mengikuti Dia dan mengundurkan diri dari-Nya di Galilea (Yohanes 6:66), sehingga Yesus bertanya kepada kedua belas murid-Nya yang masih tinggal, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Jawab Simon Petrus kepada-Nya: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal” (Yohanes 6:67-68). Meski memprihatinkan, beberapa orang Kristen termasuk hamba Tuhan yang undur dari imannya bukanlah fenomena baru. Perjanjian Lama sudah merekam adanya umat yang menyimpang dari iman mereka kepada Allah, seperti Korah, Datan dan Abiram (Bilangan 16), Akhan (Yosua 7), Saul (1 Samuel 9). Demikian juga dalam Perjanjian Baru kita membaca kisah Yudas Iskariot, dan gambaran orang-orang yang undur dari iman Kristen, seperti orang yang murtad (Ibrani 6:4-6), serta banyak contoh lainnya.
Dalam kasus kawan saya yang lain, ia diselingkuhi oleh pasangannya, seorang yang dulu justru mengajaknya itu mengenal Kristus. Hancur hati dan kecewa pun tak terelakkan, yang mana hal itu memberikan alasan baginya memilih menjalani kehidupan yang sebenarnya dia tahu itu berlawanan dengan nilai-nilai kebenaran yang sebelumnya ia pegang. Kawan saya itu “mengumumkan” di media sosial bahwa dia sudah bukan pengikut Kristus lagi. Siapakah dia? Kawan saya ini sebelumnya adalah pengkhotbah yang setia, bahkan rela melayani ke kampung-kampung, hingga ke pedalaman. Dalam kasus ini, perpisahan kepada iman Kristen tampak dipengaruhi isu psikologis yang tak menemukan solusinya, di mana kerinduan dan kebutuhan pribadi yang bersangkutan tidak menemukan jawaban dan penyelesaiannya di lingkungan Kristen. Memang bukan situasi yang mudah bagi siapa saja untuk menghadapinya.
Situasi ini mendesak kita berlutut di hadapan Allah, memohon belas kasih-Nya untuk jiwa-jiwa yang undur dari iman mereka, sembari merawat iman kita sendiri tetap waspada dan berjaga-jaga. Jika di antara orang yang kita kenal ada yang undur dari iman kepada Kristus, mari mendoakan mereka. Selama ada kesempatan menjalin komunikasi, kita tetap diajak untuk tidak membenci mereka. Dengan demikian, mereka masih bisa menganggap kita sebagai teman atau saudara. Namun, jika Anda yang membaca artikel ini adalah seorang yang undur dari Tuhan Yesus, artikel ini ditulis bukan untuk membenci atau menghakimi Anda, tetapi justru karena Yesus mengasihi Anda, dan mari kembali kepada Kristus dan menerima keselamatan, selagi masih ada waktu.
Pastikan Anda tidak ketinggalan artikel terbaru kami lainnya!
Klik untuk DAFTAR