Tanggal 31 Oktober 1517 merupakan tonggak bersejarah bagi gereja-gereja dalam tradisi Reformasi. Pada hari itu Martin Luther, seorang Imam Katolik di Jerman, menyatakan 95 Tesisnya di kota Wittenberg yang memicu gelombang perubahan dalam alur sejarah gereja di Barat dan dunia. Sejak saat itu wajah gereja di Barat tidak sama lagi, hingga hari ini. Hari Reformasi Gereja atau Reformasi Protestan itu mengingatkan kita akan panggilan untuk terus memperbaharui diri dan komunitas kita.

Ecclesia reformata, semper reformanda, begitu slogan yang terkenal, buah dari Reformasi. “Gereja Reformasi yang terus membaharui,” kira-kira seperti itu artinya. Reformasi bukanlah sebuah peristiwa yang hanya terjadi satu kali, melainkan sebuah proses yang terus berlanjut. Gereja dan orang percaya dipanggil selalu memperbarui diri sesuai dengan kebenaran sabda Tuhan. Bagi hamba Tuhan, hal ini berarti kita diajak terus belajar, bertumbuh, dan berubah, bukan hanya dalam pengetahuan, tetapi juga dalam karakter dan tindakan.

Hamba Tuhan yang Mereformasi Diri

Dalam menghadapi tantangan zaman ini, seorang hamba Tuhan bisa saja terjebak dalam kesibukan dan rutinitas. Namun, dalam Hari Reformasi Protestan ini, setiap pelayan-Nya diundang kembali merenungkan makna slogan Ecclesia reformata, semper reformanda bagi dirinya sendiri. Frasa tersebut dilengkapi dengan tambahan klarifikasi yang berbunyi: Ecclesia reformata, semper reformanda secundum verbum Dei, yang diterjemahkan menjadi “Gereja hasil reformasi selalu direformasi menurut sabda Tuhan.” Jadi, baik gereja maupun hamba Tuhan dianjurkan memperbarui hati dan motivasinya sesuai dengan ajaran Kitab Suci.

Dalam perjalanan pelayanannya, seorang hamba Tuhan seringkali dihadapkan pada tantangan dan pergumulan. Namun, seorang hamba Tuhan yang baik adalah seseorang yang berkomitmen mereformasi atau memurnikan hatinya secara terus-menerus, dalam situasi yang baik maupun tidak. Reformasi atau pemurnian hati ini adalah proses pengudusan dan perubahan yang konstan, di mana seorang hamba Tuhan dengan rendah hati menyerahkan dirinya untuk diperbarui oleh Allah.

Allah memanggil setiap hamba-Nya untuk hidup dalam kekudusan dan kesempurnaan. Rasul Paulus menegaskan dalam Roma 12:2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna.” Ayat ini menunjukkan bahwa proses reformasi diri adalah sebuah proses transformasi yang berkelanjutan, di mana seorang hamba Tuhan harus selalu memperbarui cara berpikir, sikap, dan perilakunya.

Dalam Filipi 2:5-8, dikatakan, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” Ketaatan dan kerendahan hati Yesus menjadi contoh bagi setiap hamba Tuhan untuk senantiasa mereformasi diri dan menjalani hidup dalam ketaatan kepada Allah.

Pembaruan Hati dan Pikiran

Pembaruan diri dimulai dari hati dan pikiran. Yeremia 17:9 mengingatkan kita, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” Oleh karena itu, reformasi diri memerlukan keterbukaan dan kejujuran di hadapan Tuhan. Kita diundang mengakui kelemahan dan dosa kita serta mengizinkan Allah bekerja dalam hati kita. Mazmur 51:10 berkata, “Ciptakanlah dalamku hati yang murni, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!” Ayat ini menunjukkan bahwa hanya dengan kerendah-hatian dan penyerahan diri kepada Tuhan, kita dapat mengalami pembaruan yang sejati.

Rasul Paulus dalam 2 Korintus 10:5 juga mengingatkan kita, “Kami mematahkan setiap siasat dan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia yang melawan pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus.” Dalam konteks ini, reformasi diri berarti membawa setiap pikiran, perasaan, dan tindakan kita di bawah otoritas Kristus. Hanya dengan cara ini kita dapat menyingkirkan hal-hal yang tidak berkenan dan mengalami transformasi.

Seorang hamba Tuhan yang mereformasi diri akan memancarkan perubahan tersebut dalam pelayanannya. Paulus menasihati Timotius, “Awasilah dirimu sendiri dan ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengarkan engkau” (1 Timotius 4:16). Nasihat ini menunjukkan bahwa seorang hamba Tuhan didorong untuk selalu mengawasi kehidupannya sendiri, memastikan bahwa ia hidup sesuai dengan kebenaran yang diajarkan.

Dalam pelayanannya, seorang hamba Tuhan diundang untuk memiliki sikap yang siap berubah, rendah hati, dan bersedia dikoreksi. Ketika seorang hamba Tuhan menunjukkan sikap reformasi diri, ia akan menjadi contoh yang hidup bagi orang lain dan dapat mempengaruhi mereka untuk bertumbuh dalam iman. Ini adalah wujud nyata dari panggilan menjadi terang dan garam dunia, seperti yang diajarkan oleh Yesus dalam Matius 5:13-16.

Tantangan dalam Mereformasi Diri

Proses reformasi diri bukanlah sesuatu yang selalu mudah. Ada tantangan yang bisa saja dihadapi. Namun, 2 Korintus 4:16 mengingatkan kita, “Sebab itu kami tidak tawar hati; tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari.” Ayat ini mengingatkan, meski kita mungkin mengalami kesulitan dan pergumulan, Tuhan tetap bekerja untuk memperbarui kita dari dalam batin.

Salah satu tantangan terbesar dalam mereformasi diri adalah melawan keinginan daging dan godaan dunia. Namun, kita memiliki Roh Kudus yang membantu kita dalam proses ini. Galatia 5:16 berkata, “Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging.” Dengan bergantung pada kekuatan Roh Kudus, kita dapat mengatasi tantangan dan kesulitan dalam perjalanan reformasi diri.

Akhirul kalam. Reformasi diri adalah tanda ketaatan dan kerendah-hatian seorang hamba Tuhan kepada Allah. Sebagai pelayan-Nya, kita dipanggil untuk hidup dalam pembaruan yang berkelanjutan, mempersembahkan diri kita sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada-Nya (Roma 12:1). Dengan mereformasi diri, seorang hamba Tuhan menjadi alat yang efektif dalam tangan Allah untuk membawa perubahan dan dampak positif dalam pelayanan serta kehidupan orang lain. Kiranya kita selalu berkomitmen untuk menjadi hamba Tuhan yang terus-menerus diperbarui oleh kuasa Roh Kudus, sehingga hidup kita dapat memuliakan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama. Selamat Hari Reformasi Gereja, bagi yang merayakannya.

 

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan artikel terbaru kami lainnya!
Klik untuk DAFTAR