Dalam panggilan mulia pelayanan gerejawi, para pelayan Tuhan, seperti pendeta, pastor, gembala maupun penatua jemaat, dan aktivis gereja, adalah pilar utama yang menopang kehidupan rohani umat. Mereka adalah orang-orang yang tak kenal lelah mencurahkan waktu dan energi. Namun, di balik dedikasi yang mendalam ini, tersembunyi sebuah realitas yang sering luput dari perhatian: tantangan serius terhadap kesehatan mental mereka sendiri.

Sejumlah penelitian telah menyoroti betapa rentannya pelayan Tuhan terhadap stres. Jason Leon Hanna (The Experience of Help Seeking for African American Pastors in Personal Crises, 2025) menemukan bahwa banyak pelayan jemaat menghadapi burnout, kelelahan emosional, kesepian, dan stres berat. Ini muncul terutama dari harapan jemaat lokal, tanggung jawab pelayanan tanpa batas waktu, dan kurangnya ruang privat untuk memproses beban pribadi. Pula, penelitian lain oleh The Barna Group (2021) menunjukkan bahwa jumlah pendeta yang mempertimbangkan meninggalkan pelayanan mereka karena stres terus meningkat. Di Indonesia, meski belum banyak data atau penelitian spesifik, banyaknya pengakuan pribadi dari para pelayan Tuhan serta pola yang diamati di berbagai denominasi mengindikasikan adanya tingkat tekanan psikologis yang tinggi, termasuk kecemasan, burnout, hingga depresi.

Paparan yang terus-menerus terhadap pergumulan jemaat dan tantangan dalam pelayanan memiliki dampak serius pada kondisi psikologis pelayan Tuhan atau aktivis pelayanan. Setiap hari, pelayan Tuhan diharapkan untuk mendengar cerita-cerita problema umat, juga mengulurkan tangan, memberikan nasihat, mendoakan, dan menjadi tempat bersandar. Secara emosional, mereka menjadi wadah bagi luka dan air mata jemaat.

Fenomena ini sering kali mengarah pada compassion fatigue (kelelahan akibat belas kasihan kepada orang lain). Ini adalah bentuk burnout yang khusus dialami oleh mereka yang terus-menerus terpapar penderitaan orang lain dan memberikan dukungan emosional yang intens. Gejala-gejalanya dapat sangat beragam dan mengganggu: kelelahan emosional atau merasa terkuras, hampa, dan tidak lagi memiliki kapasitas untuk peduli atau berempati; mati rasa (numbness) atau mulai merasa tumpul atau tak peduli terhadap situasi yang sebelumnya memicu rasa belas kasihan; sinisme dan iritabilitas, di mana muncul pandangan negatif terhadap pelayanan, jemaat, atau bahkan iman itu sendiri, yang disertai dengan kemarahan atau frustrasi; isolasi atau menarik diri dari hubungan personal atau aktivitas sosial, karena merasa terlalu lelah untuk berinteraksi atau takut menjadi beban bagi orang lain.

Gejala ini bisa diperparah dengan fenomena gangguan tidur dan konsentrasi, di mana pelayan Tuhan bisa kesulitan untuk rileks, tidur, atau fokus pada tugas-tugas sehari-hari karena pikiran yang terus terpaku pada beban pelayanan. Fenomena ini juga selaras dengan pemetaan ilmiah yang dikembangkan oleh Christina Maslach melalui Maslach Burnout Inventory (MBI), yang telah menjadi kerangka rujukan global dalam kajian tentang burnout. Menurut MBI, burnout mencakup tiga dimensi utama: kelelahan emosional (emotional exhaustion), depersonalisasi (depersonalization), yakni kecenderungan bersikap sinis atau menjauh secara emosional dari orang yang dilayani, serta berkurangnya rasa pencapaian pribadi (reduced personal accomplishment), di mana seseorang mulai meragukan nilai dan dampak dari pekerjaannya.

Dimensi-dimensi ini tampak jelas dalam pengalaman para pelayan Tuhan yang menghadapi tekanan pelayanan yang berkepanjangan. Dalam terang teologi, burnout dalam pelayanan mengingatkan kita akan ketegangan mendasar dalam spiritualitas Kristiani: kita dipanggil untuk mencintai dan melayani tanpa batas, tapi sebagai bejana tanah liat (2 Korintus 4:7), kita tetap terbatas, rapuh, dan memerlukan anugerah yang memulihkan. Seperti pemikiran Henri Nouwen dalam The Wounded Healer (1972), bahwa siapa yang berani melayani tanpa berani mengakui luka-lukanya sendiri akan habis oleh beban kasih yang tak ditopang oleh kekuatan ilahi. Di sinilah teologi salib menjadi terang: Kristus sendiri menunjukkan bahwa pelayanan sejati berakar pada penyerahan, bukan pada kemampuan diri yang tak terbatas.

Burnout dalam Narasi Kitab Suci

Burnout bukanlah fenomena baru-baru ini. Alkitab, meski tidak menggunakan istilah burnout, memberikan berbagai gambaran yang sangat dekat dengan pengalaman kelelahan emosional, spiritual, dan fisik yang kita kenal saat ini. Dalam narasi Kitab Suci, kita menemukan para tokoh iman yang mengalami titik nadir dalam hidup mereka, momen kelelahan, rasa putus asa, bahkan keinginan mengakhiri hidup mereka. Ini adalah refleksi mendalam bahwa bahkan para hamba Tuhan yang terbesar pun tidak luput dari deraan jiwa yang berat.

Salah satu contoh paling mencolok adalah nabi Elia. Dalam 1 Raja-Raja 19, setelah mengalahkan nabi-nabi Baal di Gunung Karmel, Elia mengalami kelelahan rohani yang luar biasa. Ia melarikan diri ke padang gurun, duduk di bawah pohon arar, dan memohon kepada Tuhan untuk mengakhiri hidupnya. Ia berkata, “Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari nenek moyangku” (1 Raja-Raja 19:4). Ini adalah potret nyata dari burnout: setelah sebuah puncak pelayanan besar, Elia justru merasa kosong, takut, sendirian, dan ingin menyerah.

Respons Tuhan terhadap Elia menjadi pelajaran penting. Allah tidak menegur Elia karena kelelahannya, tapi justru memberikan istirahat, makanan, dan waktu memulihkan diri. Malaikat Tuhan menyentuh Elia dan berkata, “Bangunlah, makanlah! Sebab perjalanan ini terlalu berat bagimu” (1 Raja-Raja 19:7). Ini adalah pengakuan ilahi atas batas-batas manusiawi, sekaligus pengingat bahwa pelayanan yang sejati membutuhkan pemulihan, bukan sekadar pengorbanan tanpa henti.

Demikian pula Musa, sang pemimpin agung Israel, pernah berkata kepada Tuhan, “Aku seorang diri tidak dapat memikul tanggung jawab atas seluruh bangsa ini, sebab terlalu berat bagiku” (Bilangan 11:14). Dalam kelelahan dan frustrasinya, Musa bahkan meminta agar Tuhan mengambil nyawanya jika Ia tidak berkenan meringankan bebannya. Di sinilah kita melihat bahwa burnout lebih dari sekadar kelelahan fisik; itu adalah tekanan emosional dan eksistensial yang mendalam, bahkan bisa menimbulkan krisis identitas spiritual.

Ayub adalah contoh lain dari penderitaan mental dan spiritual yang ekstrem. Ia kehilangan segalanya dalam waktu sekejap. Dalam kehancurannya, ia duduk dalam debu dan abu, mengutuki hari kelahirannya, dan berteriak kepada Tuhan dalam keputusasaan (3:1-3). Meski konteksnya berbeda, pengalaman Ayub menunjukkan kesedihan mendalam dan pertanyaan eksistensial juga dapat melanda orang-orang yang paling saleh.

Melalui kisah-kisah ini, Alkitab tidak menyembunyikan realitas penderitaan batin. Justru, ia menyajikannya dengan kejujuran dan empati. Ini memberi ruang bagi para pelayan Tuhan masa kini melihat bahwa pergumulan mereka memang bagian dari dinamika spiritual yang autentik. Kelelahan tidak menjadikan seseorang kurang rohani; bahkan Elia, Musa, dan Ayub pun mengalaminya.

Lebih dari itu, Kitab Suci juga menunjukkan bahwa dalam keletihan yang ekstrem pun, Allah tetap hadir. Ia menyediakan naungan, pemulihan, dan bahkan rekan pelayanan. Elia diberi Elisa, Musa dibantu tujuh puluh tua-tua, dan Ayub akhirnya dipulihkan. Dalam segala kelelahan, Tuhan tidak menuntut kekuatan a la superman dari hamba-Nya, tapi menawarkan pelukan cinta dan undangan untuk beristirahat dalam-Nya, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Matius 11:28).

Ini menunjukkan, Kitab Suci tidak tabu membahas kelelahan mental dan spiritual. Sebaliknya, ia menyediakan pengharapan dan kasih karunia. Para pelayan Tuhan masa kini dipanggil belajar dari para nabi dan pemimpin rohani terdahulu: bahwa menjaga jiwa adalah bagian dari kesetiaan kepada panggilan, dan bahwa dalam kelelahan, ada ruang untuk dipeluk dan dipulihkan oleh Tuhan sendiri.

Memulihkan Jiwa, Setia Melayani

Kita telah menyusuri realitas yang kerap tersembunyi di balik jubah pelayanan: luka yang sunyi, kelelahan yang dalam, dan jiwa yang perlahan-lahan terkikis oleh belas kasih yang tak kunjung habis. Kesehatan mental pelayan Tuhan bukan sekadar isu pribadi; sebaliknya ini adalah isu komunitas, isu iman, bahkan isu keberlangsungan pelayanan Kristiani itu sendiri. Sebab, ketika para pelayan Tuhan runtuh dalam keheningan, seluruh tubuh Kristus pun turut merasakan dampaknya.

Pelayanan gerejawi bukanlah perlombaan tanpa garis akhir, melainkan ziarah iman yang memerlukan ritme: jeda, pemulihan, dan penyerahan. Dalam dunia yang semakin menuntut kehadiran tanpa henti, para pelayan Tuhan justru dipanggil menjadi teladan dalam hal berani berhenti sejenak, berani mengatakan “tidak”, dan berani mengakui kebutuhan akan perawatan diri. Ini bukan bentuk egoisme, melainkan bentuk kerendahan hati: kita mengakui bahwa kita hanyalah bejana tanah liat, yang hanya dapat memancarkan cahaya jika tidak retak karena diabaikan.

Dalam pengakuan dan kesadaran ini, gereja memiliki peran yang tak tergantikan. Gereja selayaknya menjadi tempat pelayanan dijalankan sekaligus menjadi ruang aman bagi para pelayan Tuhan untuk dirawat. Komunitas perlu belajar memberi dukungan—baik secara spiritual, emosional, maupun praktis—selain menerima pelayanan. Dibutuhkan budaya yang mendorong keterbukaan, bukan kepura-puraan; empati, bukan melulu ekspektasi yang membebani.

Juga penting ditegaskan kembali, mencari bantuan psikologis, beristirahat, bahkan mengambil cuti pelayanan bukanlah tanda kelemahan rohani. Sebaliknya, itu adalah tindakan iman, sebuah pengakuan bahwa Tuhan adalah Gembala Agung yang memelihara domba-domba-Nya, termasuk para gembala itu sendiri. Mengizinkan diri dipulihkan adalah bagian dari keteladanan Kristus; Ia pun tidak hanya mengajar dan menyembuhkan, tetapi juga mengambil waktu menyendiri, berdoa, dan beristirahat.

Pada akhirnya, mari kita akui bahwa kesehatan mental pelayan Tuhan adalah urusan yang kudus. Jiwa mereka (dan kesehatan jiwa mereka) pun berharga di mata Tuhan. Ketika para pelayan Tuhan hidup dalam keseimbangan dan kedamaian, maka dari hidup mereka akan mengalir pelayanan yang autentik, penuh kasih, dan berdaya ubah. Dan, di situlah, pelayanan menjadi berkat, baik bagi yang dilayani dan yang melayani.

Semoga tulisan ini menjadi penghiburan bagi setiap pelayan Tuhan. Inilah waktu bagi gereja untuk menengok ke dalam, sehingga mampu menengadah ke atas dan merangkul lebih erat mereka yang telah lebih dahulu memberi diri. Sebab, di tengah ladang yang luas dan pekerjaan yang berat, Tuhan sendiri telah menjanjikan kelegaan, pemulihan, dan damai yang melampaui segala akal.


Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan artikel terbaru kami lainnya!
Klik untuk DAFTAR