“Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna. ” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. (2 Korintus 12:9)
Bagi dunia yang mengagungkan kekuatan dan kuasa, pernyataan Paulus ini terdengar ganjil dan tidak relevan. Di semua aspek kehidupan manusia, baik itu ekonomi, ilmu pengetahuan, politik atau militer bahkan terkadang di dalam gereja, pengajaran akan kekuasaan tampak begitu mencolok. Kita terheran-heran dengan sebagian orang yang mengaku diri sebagai hamba Tuhan, tetapi tanpa jengah menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Pandangan Alkitab justru sebaliknya. Pandangan Alkitab justru sebaliknya Yaitu melakukan upaya dekonstruksi terhadap filosofi dunia ini yang mendewakan kekuatan dan kekuasaan.
Seorang pengkhotbah asal Skotlandia bernama James S. Stewart menyampaikan satu pernyataan yang sangat mengejutkan, bahwa Tuhan selalu memilih membangun kerajaan-Nya melalui kelemahan dan kehinaan manusia, bukan dalam kekuatan dan kepercayaan diri manusia. Terlepas dari kebiasaan, ketidakberdayaan, dan kelemahan kita yang tidak memenuhi syarat, justru Allah mau memakai kita. Ini adalah kebenaran yang menakjubkan, yang dapat merevolusi pandangan kita tentang misi.
Apa yang dikemukakan oleh James Stewart merupakan refleksi dari apa yang sudah dikatakan oleh rasul Paulus dalam Kitab Suci:
Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat … Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar. … Atas orang itu aku hendak bermegah, tetapi atas diriku sendiri aku tidak akan bermegah, selain atas kelemahan-kelemahanku. … Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat; … Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna; Atas orang itu aku hendak bermegah, tetapi atas diriku sendiri aku tidak akan bermegah, selain atas kelemahan-kelemahanku (1 Korintus 1:27; 2:3; 2 Korintus 12:5, 9,10).
Gagasan untuk menghargai kelemahan sudah pasti menantang standar pada umumnya. Siapakah di dunia ini yang mempertimbangkan kelemahan seorang pemimpin rohani sebagai kekuatannya? Namun, Jawaban Paulus sangat jelas: “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat.”
Dalam pengalamannya bersama Allah, Paulus menyadari seolah bahwa Allah kerap menyembunyikan diri-Nya. Kekuatan Allah biasanya merupakan kekuatan yang tampak samar. Allah menyelubungi kemahakuasaan-Nya dalam jubah keheningan (mantle of silence). Namun demikian, kekuatan-Nya tidak tertandingi siapa pun. Begitu pula hikmat dan kuasa Allah dapat dilihat pada orang-orang yang Dia pilih untuk membangun kerajaan-Nya. 1 Korintus 1:26-29 mengatakan, “Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang. Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah.”
A.T Robertson secara jeli mengatakan bahwa Yesus memilih murid-murid-Nya dari mereka yang tidak bersekolah, seperti pengrajin dan nelayan di Galilea. Apa yang mendorong Allah justru memilih mereka yang bodoh, tidak berpengaruh, lemah dan hina? Jawabannya tidak lain seperti yang Kitab Suci katakan, yaitu “supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1:29).
Dr. Stewart dalam bukunya melihat bahwa kelemahan manusia secara potensial dapat menjadi senjata ilahi yang kuat. Ia mengatakan bahwa tidak ada yang dapat mengalahkan “gereja yang tidak bergantung kepada kekuatannya sendiri, melainkan menyerahkan kelemahannya kepada Allah untuk dijadikan sebagai senjata Allah. Persis seperti yang dikatakan oleh William Carey dan Fransiskus Xaverius ketika mereka berdoa kepada Allah, “Tuhan, kelemahanku kupersembahkan kepada-Mu untuk kemuliaan-Mu!”
Kita harus ingat bahwa Tuhan tidak membatasi dirinya kepada seseorang yang lemah dan hina! Countess of Huntingdon, mengacu pada 1 Korintus 1:26, pernah berkata, saya bersyukur karena Alkitab tidak mengatakan: tidak ada orang terpandang, tetapi tidak banyak orang yang terpandang. Tuhan ingin memberkati dan menggunakan semua anak-Nya, terlepas dari kekurangan sejak lahir, bakat atau karisma. Tetapi dia hanya dapat melakukannya jika mereka bersedia untuk sepenuhnya melepaskan ketergantungan pada keukuatan dan bakat mereka sendiri.
Paulus adalah orang terpandang, bijaksana, dan berpengaruh pada zamannya. Namun, ia tidak mengandalkan semua kualitas ini, sebaliknya seperti yang ia katakan, bahwa dirinya juga datang kepada jemaat dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar. “Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh” 1 Korintus 2:3-4. Paulus menerima kelemahan yang menggerakkannya bergantung penuh kepada Allah. Dwight L Moody adalah contoh lain dari seorang yang memiliki penampilan tidak menarik, kurang berpendidikan, dengan suara yang tidak cocok sebagai pengkhotbah, tetapi dipakai Allah untuk mengguncang dunia melalui pelayanannya.
Paulus tentu tidak menikmati kelemahannya sejak awal pelayanannya. Seperti kita, dia cenderung memprotes kepada Tuhan. Maka, situasi seperti ini merupakan sebuah proses pembelajaran bertahap. Dia berkata,”Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala hal (Filipi 4:11). Tetapi, saat memahami pemeliharaan Allah, Paulus akhirnya mencapai tingkat kedewasaannya untuk bisa menerima realitas kelemahan yang ia miliki. “Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.”
Salah satu rahasia besar kesuksesan Paulus sebagai seorang pemimpin, sekaligus yang ia contohkan dengan sangat baik bagi para pengikutnya, adalah ia mengambil kekuatan dari kelemahannya. Paulus tidak tunduk pada kelemahannya, tetapi justru menjadikan kelemahannya sebagai motivasi untuk melayani bersama Roh. Dengan demikian, hendaknya kita tidak cenderung menganggap kelemahan dan ketidakmampuan kita sebagai alasan yang dapat dibenarkan untuk mengecilkan diri dari tugas yang sulit. Tuhan memberikan kelemahan-kelemahan ini sebagai dorongan bagi kita untuk mengatasinya, dan mengubahnya menjadi sesuatu yang dapat dipakai dalam pelayanan kita. Tepat seperti para pahlawan iman: Gideon, Yefta, Simson, Barak, Daud, “Mereka telah luput dari mata pedang, telah beroleh kekuatan dalam kelemahan, telah menjadi kuat dalam peperangan dan telah memukul mundur pasukan-pasukan tentara asing” (Ibrani 11:34).
Suatu parafrasa filsafat kelemahan yang diambil dari dari misionaris China Inland Mission, Hudson Taylor, akan menolong kita, yaitu “Kita seharusnya kewalahan dengan besarnya pekerjaan dan beban tanggung jawab yang dibebankan kepada kita, dan tidak meratapi pada kelemahan dan kekurangan kita sendiri. Bukankah Allah telah berjanji, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Korintus 12 : 9). Dan seperti yang kita lihat, pelayanan misi yang dikerjakan oleh Hudson Taylor di Tiongkok membuktikan kebenaran filsafat kelemahan ini.
Disadur dari: J. Oswald Sanders, Dynamic Spiritual Leadership, Grand Rapids: Discovery House Publisher, 1993, p. 203 – 209