Saya memulai perjalanan karier sebagai pendeta muda yang bersemangat. Saya punya mimpi mengubah dunia. Semua akan saya lakukan bagi Tuhan. Tetapi, di tahun kedua pelayanan, saya bergumul dengan depresi dan kecemasan.
Setiap hari, saya merasa tidak punya cukup waktu untuk memenuhi semua tuntutan pekerjaan pelayanan. Kesibukan makin banyak dan setiap kritik dari berbagai pihak di gereja terasa menyengat. Ini situasi yang sungguh tidak mudah. Saya tidak bisa berpikir jernih, dan seringkali merasa frustrasi hanya karena hal-hal kecil.
Beban terasa makin berat, ditambah lagi tuntutan dari harapan-harapan yang saya sendiri dan orang lain buat untuk saya. Pikiran saya berputar keras tentang bagaimana seharusnya saya memperhatikan orang-orang muda yang Tuhan hantarkan kepada saya. Ini karena saya merasa bahwa suatu hari nanti saya harus mempertanggungjawabkan bagaimana saya telah membina dan menggembalakan mereka.
Semua ekspektasi itu membuat saya tertekan. Saya mengalami burnout dan lelah secara mental. Sampai-sampai, saya tidak bisa membayangkan keadaan yang saya hadapi akan membaik. Kelelahan mental yang saya tanggung terlalu besar, hingga saya merasa satu-satunya jalan keluar adalah mengakhiri hidup saya agar bisa langsung bertemu Yesus.
Jujur, pikiran liar itu membuat saya kaget sendiri. Padahal selama ini saya menganggap diri sendiri sebagai orang yang tabah dan kuat, sehingga gulatan perasaan seperti ini sungguh terasa aneh dan tidak nyaman. Kok pelayan Tuhan seperti saya berpikir mau bunuh diri?
Sejalan dengan itu, saya pikir saya butuh liburan karena kelelahan mental dan fisik. Mungkin pergi liburan akan menolong saya untuk terlepas dari stres dan menjernihkan pikiran untuk menyusun rencana ke depan, pikir saya. Perlu ada jalan keluar agar saya bisa mencari tahu bagaimana caranya bertahan melayani di pelayanan anak-anak muda, tidak sekadar menjadi pendeta yang cuma hadir lalu gagal. Maka, saya pun mengambil cuti seperti yang disarankan oleh salah satu mentor, dan orang-orang di sekitar yang mengerti pergumulan saya.
Tapi, liburan selama satu minggu tidaklah cukup, dan saya tahu itu. Saya harus kembali lagi ke pekerjaan, berjibaku kembali dengan rutinitas yang menantang. Tidak ada seorang pun yang hadir untuk mengajak saya bicara terkait masalah saya. Tetap saja, saya berpura-pura tampil “baik-baik saja,” meski dalam diri saya bergumul hebat.
Semua hal ini membuat saya bertanya-tanya dan meragukan iman saya serta dan motivasi pelayanan yangs selama ini saya jalani. Di satu titik, semua beban itu bertumpuk dalam kepala yang terasa makin berat.
Sebagai pendeta, saya memiliki kemampuan intelektual yang “cukup” tentang siapa Tuhan dan apa yang Dia katakan tentang manusia, tentang saya juga. Namun, yang saya temukan setelahnya adalah justru saya tidak memahami diri saya sendiri dengan baik, sehingga tidak dapat menerapkan kebenaran tentang siapa diri saya di hadapan Tuhan. Saya tahu keadaan saya cukup sulit, tapi saya masih merasa cukup kuat untuk mengatasinya. Saya tidak menyadari ternyata dunia di sekitar mempengaruhi batin saya dan turut berkontribusi menghadirkan pola-pola negatif di hidup saya.
Bagaimana konseling menolongku mengatasi pergumulan
Suatu malam, saya berada di titik nadir. Harapan yang ditumpukan orang kepada saya terasa amat berat, dan saya merasa tidak sanggup lagi. Saya diliputi keputusasaan. Saya yakin tidak layak mengemban tanggung jawab sebagai pendeta. Lalu saya ke sofa, dan tidur meringkuk seperti bola. Saya tidak bisa berpikir jernih, tak bisa berbuat apa-apa. Saya menyadari kalau sedang tidak baik-baik saja. Saya butuh bantuan.
Malam itu juga, atas arahan dari salah seorang pendeta, saya pergi menjumpai seorang dokter umum yang kemudian memberi saya obat dan menyarankan agar saya berkonsultasi dengan psikolog.
Saya memutuskan menemui konselor Kristen karena saya tahu pada intinya, masalah yang saya sedang hadapi adalah masalah spiritual. Saya membutuhkan Yesus untuk mengubah hati dan pikiran saya. Saya perlu memahami diri saya seperti cara Tuhan melihat saya. Ya, saya perlu menemukan identitas diri saya di dalam Kristus, bukan dalam keberhasilan atau kegagalan pelayanan saya pribadi. Saya membutuhkan pertolongan dari sesama orang Kristen.
Hal lain yang juga menolong saya (pada tahun-tahun menjelang pernikahan kami), adalah bagaimana saya belajar mengasihi seseorang yang juga pernah mengalami depresi dan kecemasan—istri saya sendiri.
Istri saya pernah melalui tantangan-tantangan mental seperti yang saya alami ini sebelumnya, maka saya pun paham bahwa menemui konselor adalah keputusan yang baik. Saya tahu bahwa saya tidak perlu menjadi sempurna—karena pada dasarnya memang kita tidakbisa sempurna, dan itu tidak masalah. Melihat sendiri bagaimana istri saya melewati masa-masa tersebut, memberi saya keberanian mencari pertolongan, meskipun saya masih merasa kaget karena tidak pernah terpikir bahwa saya akan mengalami masalah seperti ini juga. Selama proses konseling berlangsung, saya tetap melanjutkan peran sebagai pendeta sampai beberapa tahun setelahnya.
Menjalani konseling merupakan hal yang paling penting, ini adalah pertolongan besar yang saya dapat dalam perjalanan mengatasi kesehatan mental. Konseling adalah tempat yang aman karena segala data dan informasi kita bersifat rahasia. Dari sana, saya mulai mengerti bahwa masalah yang saya alami itu berkaitan dengan identitas saya, dan kemudian saya melihat bagaimana identitas saya itu menentukan apa yang saya lakukan. Sebelumnya, saya punya konsep sendiri tentang siapa saya, bagaimana dunia itu, dan siapakah Tuhan—beberapa konsep saya itu tidaklah sejalan dengan perspektif Yesus. Cara pandang saya akan realitas tidaklah benar, baik, dan sejalan dengan apa yang Yesus katakan pada saya. Ya, saya butuh Yesus untuk menunjukkan kebohongan yang telah saya percaya selama ini, baik secara sadar maupun tidak. Saya butuh percaya kebenaran dari Yesus melebihi apa yang saya pikir dan rasa.
Sesi-sesi konseling menolong mengurai masalah saya. Pula, saya mendapat terapi perilaku kognitif Kristiani yang menolong saya mengerti apa yang terjadi dalam pikiran saya, alasan mengapa saya melakukan sesuatu, sehingga saya bisa merespons dengan efektif terhadap pikiran-pikiran, perasaan, tindakan, serta melepas konsep yang keliru.
Sebelumnya, saya tak menyadari bahwa iman berkaitan dengan kesehatan mental. Saya tidak sepenuhnya mengerti bahwa identitas saya dalam Kristus juga berkaitan dengan masalah saya. Sungguh penting mengetahui siapa kita sebenarnya di dalam Kristus.
Pemulihan dari burnout
Pulih dari burnout adalah proses yang panjang, tetapi saya tetap menjalankan tanggung jawab saya sebagai pendeta sampai Tuhan berkata saatnya untuk pindah. Butuh dua tahun bagi saya beranjak dari posisi sebagai pendeta ke tanggung jawab saya yang sekarang. Semua karena anugerah-Nya saja.
Masih ada momen-momen ketika ada kendala dalam diri saya, entah itu kurangnya rasa belas kasihan, bertindak di luar karakter saya, atau bergumul untuk lebih tenang. Semua itu memaksa saya berhenti dan berpikir: apa keyakinan yang mendasari di sini? Bagaimana saya bisa menyelaraskan diri saya dengan kebenaran Tuhan di situasi ini?
Satu hal yang saya dapati saat menghadapi masalah kesehatan mental di dalam gereja adalah kurangnya kesadaran akan kesehatan mental dari sudut pandang Kristen. Beberapa orang terlalu serius menanggapi persoalan mental orang lain seolah-olah itu penyakit menular, yang akhirnya malah membuat seseorang semakin takut untuk membuka diri. Sikap ini menunjukkan sebuah tembok yang dibangun oleh orang-orang di gereja—tidak mampu untuk secara terbuka berbagi kisah tentang apa yang sedang dialami, dan tak ada orang yang bisa memvalidasi pengalaman mereka.
Di sisi lainnya, saya juga melihat bagaimana orang bisa begitu berempati dan berbelas kasih terhadap mereka yang bergumul, tetapi pada akhirnya malah terlalu banyak menceritakan pengalaman mereka sendiri, yang belum tentu tepat. Pada kasus saya, penting untuk tidak merasa kita adalah juruselamat bagi orang lain dan kitalah yang paling bisa menolong. Saya harus melakukan apa yang bisa saya lakukan, tapi saya pun harus percaya bahwa pada akhirnya, Tuhanlah yang memegang kendali.
Kita tak bisa memaksa mereka yang bergumul dengan masalah kesehatan mental untuk menemui dokter atau konselor. Biarlah mereka sendiri yang memutuskan. Perjalanan menuju pemulihan adalah urusan orang itu sendiri dengan Yesus. Kita sebagai temannya bertanggung jawab menemani dia. Bukan sebagai juruselamat atau ahli kesehatan mental, tapi sebagai kawan seperjalanan.