Daya pikat seksualitas itu luar biasa. Demikian kata Gary Inrig dalam pembukaan bukunya yang berjudul “Keindahan yang Hilang: Memaknai Kembali Seksualitas yang Hilang.” Masyarakat modern sekarang cenderung pikirannya dipenuhi dengan hasrat seksual dan bisa mendapatkan pemuasannya dari beragam tawaran yang datang dari mana-mana. Begitu kuatnya daya pikat seksualitas, sampai-sampai banyak perusahaan berlomba menyediakan segala jenis kebutuhan, dari suplemen hingga paket bulan madu, untuk memenuhi kebutuhan orang akan hasrat seksualnya.
Seksualitas adalah anugerah Allah. Namun, di dalam sejarah banyak kekeliruan persepsi manusia mengenai seksualitas. Dalam banyak kisah, seksualitas yang seharusnya indah justru tampak tercoreng oleh tindakan-tindakan amoral. Ditambah lagi baru-baru ini marak terjadi pelecehan seksual yang terungkap terhadap para wanita (https://www.kompas.com/tag/pelecehan-seksual).
Sebagai umat Kristiani kita diundang untuk memahami bahwa moralitas seksual bukanlah sekadar menghindari sesuatu yang melanggar susila atau berdosa, melainkan menghormati pemberian Allah yang berharga, demi kebaikan dan kemuliaan-Nya.
Keindahan yang Hilang
Tak dapat disangkal, banyak orang, termasuk anak Tuhan bergumul dengan hasrat seksualnya. Tidak ada yang salah dengan hasrat seksual, tetapi hasrat seksual yang menyimpang akan menimbulkan masalah. Tidak sedikit dari kita yang mungkin sedang bergumul terkait hal ini. Hasrat seksual yang menyimpang akan melahirkan praktik seksual yang menyimpang pula. Kitab Suci dengan jelas menginformasikan akar masalah dari hal ini. Alkitab menunjukkan bahwa seksualitas manusia sudah rusak dan tidak lagi kudus.
Padahal Allah menciptakan manusia menurut rupa-Nya dan pernikahan merupakan inisiatif-Nya, lantas apa yang membuat seks bermasalah? Jika Allah sendiri yang memberikan seks kepada manusia, seks itu seharusnya baik, indah, dan kudus. Namun, mengapa keindahan seksualitas yang Allah anugerahkan itu hilang? Kenapa seks bisa menjadi sumber dari banyak kehancuran hati, rasa bersalah, rasa malu, dan berbagai masalah lainnya? Mengapa hasrat seks bisa memperbudak kita? Mengapa godaan yang sama berulang kali datang dan perjuangan kita melawannya seolah tidak pernah tuntas?
Pdt. Inrig mengatakan, tanpa mendiagnosis masalah dengan benar, kita tidak mungkin mengatasinya dengan benar. Jika akar dari pergumulan seksual kita adalah kurangnya pengetahuan, kita dapat mencari jalan keluarnya lewat penelitian atau pendidikan. Kalau akar masalah adalah tekanan sosial dan politik, kita dapat mencari orang yang dapat menolong kita keluar dari tekanan dan pengaruh tersebut. Namun, jika akar masalahnya ternyata adalah kondisi rohani yang rusak, kita harus memandang melampaui masalah yang tak kasat mata dan mencari pertolongan dari Allah sendiri.
Kembali ke Titik Awal
Pdt. Inrig mengajak kita kembali ke titik awal, tempat akar masalah ini pertama kali muncul. Kita perlu mencari tahu apa kata Alkitab, karena melaluinya pemaparan masalah seksualitas setelah kejatuhan manusia dengan jelas diuraikan, dan itu apa adanya, sesuai kenyataan yang ada. Dengan kembali kepada pandangan Alkitab akan menjauhkan kita dari diagnosis yang keliru dan cenderung menyederhanakan masalah. Melalui terang sabda Tuhan, kita juga akan dijauhkan dari jalan keluar yang menyesatkan terkait isu seksualitas.
Secara sederhana, Alkitab menolong kita memiliki pandangan yang berimbang tentang kebutuhan jasmani dan hasrat alami manusia. Di satu sisi, kita tidak akan memuja dan terobsesi dengan seks atau menganggap seks sebagai jawaban untuk masalah-masalah kita. Di sisi lain, kita juga tidak akan memandang seks sebagai sesuatu yang kotor dan rendah.
Kejatuhan manusia telah merusak rancangan Allah yang baik atas seks dan atas segala bidang kehidupan. Namun, di balik apa yang kita lihat sudah rusak ini, rancangan Allah tetap ada bagi umat manusia. Allah pun sanggup memulihkan seksualitas manusia yang menyimpang.
Penggambaran Alkitab tentang Adam dan Hawa yang mengemban citra Allah itu jelas berkonotasi seksual karena mereka mengalami kenikmatan murni dalam hubungan mereka, jiwa dan raga, dalam kerangka pernikahan yang dirancang Allah pada mulanya. Seksualitas mereka yang belum terkontaminasi adalah magnet yang menarik keduanya untuk menjalin hubungan yang lebih intim. Mereka menikmati kehadiran satu sama lain. Mereka hidup berdampingan di taman yang disediakan Allah bagi mereka. Mereka tidak malu atau takut kalau pasangannya akan menganggap dirinya tidak layak atau tidak memenuhi syarat.
Perempuan itu mendampingi suaminya dengan keindahan yang dimiliki wanita yang diberikan Allah kepadanya; laki-laki itu mendampingi istrinya dengan keindahan pria yang dirancang Allah dalam dirinya. Keduanya hidup bersama dalam kepercayaan diri yang sehat, dalam hubungan yang harmonis, dan dengan tubuh yang tidak tercemar. Mereka saling mengisi dan melengkapi dengan sangat baik. Namun sayang, keindahan itu tidak bertahan hingga akhir cerita. Kejadian 3 menjelaskan kepada kita bagaimana kejadian tragis itu kemudian memberikan dampak pada kehidupan kita sekarang.
Kejatuhan Adam dan Hawa Berdampak Tragis.
Jatuhnya Adam dan Hawa ke dalam dosa membuat hati manusia cenderung kepada kejahatan (Kejadian 6:5). Seluruh aspek kehidupan manusia pun tercemar oleh dosa, termasuk pikiran, perasaan, dan hasratnya. Namun demikian, masih ada secercah harapan. Allah tidak meninggalkan Adam dan Hawa atau melenyapkan mereka, meski mereka telah berdosa, gagal menaati-Nya. “Di manakah Engkau?” adalah pertanyaan dari Allah yang sedang mencari.
Allah bertanya bukan karena tidak tahu dan butuh informasi. Dia Mahatahu. Dia mencari dan menantikan penyesalan tulus mereka. Dia tahu persis di mana mereka berada, bersembunyi di antara pepohonan, dengan sia-sia berusaha menutupi tubuh dengan daun-daun pohon ara. Dia tahu mengapa mereka bersembunyi. Mereka berusaha membenarkan diri dengan banyak alasan. Namun, dalam kasih dan kepedulian-Nya, Allah mendesak mereka untuk berkata jujur.
Pada saat yang sama, dalam kasih karunia-Nya, Allah menyatakan penghakiman atas ular. Pernyataan itu sekaligus mendeklarasikan bahwa Iblis akan dikalahkan oleh keturunan si perempuan yang tadinya menjadi instrumen Iblis untuk masuknya dosa.
Drama penebusan yang terus berlanjut kemudian menyingkapkan bahwa keturunan yang dimaksud adalah Tuhan Yesus, yang meremukkan Iblis melalui kemenangan-Nya di kayu salib. Keturunan yang dijanjikan Allah itu akan menjadi manusia dan akan menghancurkan pekerjaan Si Jahat (Kejadian 3:14-15).
Yesus tidak hanya menebus umat manusia, tetapi Dia juga menjadi teladan dalam menaklukkan hasrat dosa yang ada dalam diri tiap insan. Dia taat hingga mati di kayu salib (Filipi 2:5-10). Dalam bukunya, Sex Is Not the Problem, Joshua Harris menulis, “Sebenarnya Yesus tidak datang untuk melepaskan kita dari kodrat kita sebagai manusia; Dia datang menjadi manusia untuk melepaskan kita dari dosa. Dia tidak datang untuk melepaskan kita dari kodrat kita sebagai makhluk seksual; Dia menjadi sama seperti kita untuk melepaskan kita dari kuasa dosa dan nafsu, yang merusak seksualitas kita.”
Salah satu yang menyedihkan dalam hidup ini adalah menyadari bahwa kita tidak dapat memutar waktu kembali. Mungkin kita punya masa lalu yang buruk. Pergaulan bebas, dan perilaku seksual yang menyimpang. Namun, Allah bisa menolong Anda berubah. Sekali keperawanan diberikan, itu tidak bisa kembali. Sekali perzinahan dilakukan, sekali imajinasi kita dicemarkan oleh pornografi atau eksperimen seksual, itu semua sudah terjadi. Kita tak bisa kembali untuk memperbaiki masa lalu.
Namun, berita Injil yang mulia memberitahukan kepada kita bahwa ada jalan untuk melangkah maju. Kita perlu menolak bersembunyi di balik daun pohon ara, berhenti berusaha menutupi rasa bersalah dan rasa malu yang ada, seperti orangtua pertama kita: Adam dan Hawa.
Kita diundang untuk berdiri apa adanya di hadapan Allah yang Kudus, mempercayai janji-Nya bahwa telah tersedia pakaian kebenaran untuk kita kenakan—kebenaran dari Tuhan kita Yesus Kristus, dianugerahkan melalui kematian-Nya di kayu salib. Kita tidak dapat mengulang masa lalu, tetapi oleh iman, kita dapat melangkah maju dengan kebenaran yang disediakan Tuhan Yesus dan dengan disertai oleh Roh-Nya yang pemurah.
Ibarat reruntuhan dari sebuah bangunan megah, kita tidak lagi sama seperti saat kita diciptakan. Kehancuran dan kerusakan yang mewarnai sejarah manusia menjadi buktinya. Namun, rupa Allah di dalam manusia ciptaan-Nya tidak hilang. Dalam seksualitas, kita dapat melihat akibat kejatuhan manusia sekaligus keindahan ciptaan Allah yang mula mula. Kita dapat melangkah maju dalam kuasa Kristus yang menyelamatkan dan kuasa Roh Kudus yang memurnikan dengan penuh keyakinan bahwa Allah bekerja di dalam diri kita, dan kita “sedang diperbarui terus-menerus oleh Pencipta . . . yaitu Allah, menurut rupa-Nya sendiri. Maksudnya ialah supaya [kita] mengenal Allah dengan sempurna” (Kolose 3:10 BIS).
Kita memuliakan Allah tidak hanya dengan menghindari dosa seksual, meski jelas itu merupakan salah satu perintah Allah. Namun, kita baru dapat sungguh-sungguh memuliakan Allah ketika memahami tujuan kita diciptakan, ketika kita menggunakan dan menikmati anugerah-Nya yang baik sesuai dengan maksud Sang Pemberi. Kisah penciptaan memperjelas tiga hal:
Seks adalah berkat yang diberikan Allah
Seks hanya dapat dinikmati dalam konteks pernikahan
Seks memiliki tujuan yang dirancang Allah, yaitu keintiman
Ketika kita mempercayai Allah dengan menjalani hidup dalam batasan-batasan yang sudah diberikan-Nya, termasuk dalam hal yang sangat pribadi ini, Allah akan dimuliakan. Kita pun akan menampilkan dan menikmati hidup sebagaimana yang telah dirancang-Nya.