Setiap orang di dunia pasti memerlukan kasih. Dalam teori hierarki kebutuhan Maslow, kebutuhan manusia untuk dikasihi dan mengasihi merupakan hal yang berpengaruh dalam perkembangan kepribadian seseorang. Sebagai pengikut Kristus, kita pun dituntut untuk mengasihi karena kita sendiri telah menerima kasih yang begitu besar dari Allah. Dalam pengajaran Yesus yang direkam dalam Matius 22:37-39 menyatakan, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

Pertanyaannya, apakah mudah mengasihi orang lain? Itu tergantung pada siapa obyek kasihnya. Jika mereka adalah anggota keluarga kita, (meski mungkin tidak selalu mudah) tapi kita bisa melakukannya. Jika mereka orang baik, telah membantu, merawat kita ketika sakit, memberikan dukungan saat menghadapi masalah keuangan, rasanya ini pun tidak terlalu sulit.

Singkatnya, kepada orang-orang yang telah melakukan hal-hal baik untuk kita, tentu tidak sulit mengasihi mereka. Tapi, bagaimana dengan mengasihi seseorang yang telah menyakiti kita? Menyebarkan kebohongan, berkhianat, atau menghancurkan hidup kita? Sudah pasti tidak mudah, kalau kita tidak ingin menjawab tidak mungkin. Tetapi itulah yang Yesus katakan kepada kita dalam Lukas 6:27-28, “Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.”

Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.

Musuh adalah seseorang yang ingin menyakiti kita secara emosi, fisik, finansial, atau membahayakan kita. Uniknya, Yesus mengajak kita mengasihi, atau memperlakukan mereka dengan kebaikan, memberkati, dan mendoakan mereka.

Apa artinya mengasihi musuh kita?

Setelah mengatakan kepada murid-murid-Nya untuk mengasihi musuh dalam 5:44, di bagian akhir dari pasal 5, Yesus berkata, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” (ay. 48). Kata “sempurna” bisa membuat kita ragu. Bukankah hanya Tuhan yang sempurna? Tetapi, kata sempurna dalam bahasa Yunani aslinya berarti “lengkap.”

Frasa ini berasal dari kata utama yang berarti berangkat ke titik atau tujuan yang pasti. Dengan kata lain, kita diminta mengasihi orang lain seperti Bapa Surgawi mengasihi baik kepada orang benar maupun orang yang tidak benar (ay. 45). Ketika mengasihi musuh, kita akan utuh seperti Bapa surgawi yang menunjukkan kasih dan belas kasihan-Nya kepada semua orang, termasuk orang berdosa.

Mengasihi musuh bukan berarti membiarkan mereka terus menyakiti kita karena itu akan menjadi kegagalan mengasihi diri kita sendiri seperti Tuhan mengasihi kita. Kita dapat melakukan apa yang ada dalam kendali kita untuk melindungi diri kita sendiri, sambil memercayai Tuhan untuk turun tangan.

Berdoa untuk musuh merupakan tindakan berbelas kasihan, dan doa semacam itu mampu mengubah hati kita.

Berdoa untuk musuh merupakan tindakan berbelas kasihan, dan doa semacam itu mampu mengubah hati kita. Kita tidak lagi berfokus pada kerusakan emosional yang disebabkan oleh orang yang membenci kita. Untuk itu setiap kali wajah musuh Anda muncul di benak, ganti pemikiran negatif di kepala Anda dengan doa.

Berdoalah agar Yesus bekerja dengan cara yang luar biasa untuk melembutkan hati mereka dan membuka mata mereka. Berdoalah agar mereka merasakan kebutuhan yang mendalam akan Yesus. Anda akan sulit memikirkan balas dendam jika Anda memanjatkan doa. Itu menempatkan fokus kita pada Tuhan dan rencana-Nya yang indah untuk penyembuhan dan pertumbuhan rohani kita.

Mengapa kita harus mengasihi musuh?

Ada beberapa alasan untuk pertanyaan ini. Pertama, karena Tuhan memerintahkan kepada kita. Tuhan ingin kita mengasihi musuh kita. Ketaatan kepada perintah ini merupakan wujud kasih kita kepada Allah.

Kedua, karena Tuhan lebih dulu mengasihi kita. Saat kita masih menjadi musuh Allah (Kolose 1:21; Roma 5:10) Dia menunjukkan kasih-Nya kepada kita. Melalui Yesus (Roma 5:8) kasih Allah membawa keselamatan bagi kita. “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi.” (1 Yohanes 4:10-11). Kita diperintahkan untuk mengasihi orang lain, bahkan musuh kita, karena kita telah menerima kasih Tuhan Yesus.

karena kita menunjukkan siapa Yesus ketika kita mengasihi musuh kita. Kita adalah duta-duta-Nya untuk menunjukkan kasih-Nya kepada mereka

Ketiga, karena kita menunjukkan siapa Yesus ketika kita mengasihi musuh kita. Kita adalah duta-duta-Nya untuk menunjukkan kasih-Nya kepada mereka. Kasih yang ditunjukkan oleh Tuhan Yesus Kristus adalah kasih yang tidak bergantung pada perasaan. Apalagi sekadar perasaan yang timbul tenggelam dalam hati. Kasih seperti ini bahkan terlepas dari tindakan dan respons orang lain terhadap-Nya.

Belajar dari Yesus.

Yesus menghadapi penentangan yang luar biasa dalam hidupNya. Musuh-musuh-Nya keluar untuk mendiskreditkan, melecehkan, dan akhirnya membunuh-Nya. Tetapi, Dia tidak membiarkan musuh-musuh-Nya mengalihkan diri-Nya dari misi utama-Nya. Dia menanggapi musuh-musuh-Nya dengan kebenaran, penyembuhan, kebaikan, dan kasih. Dia datang untuk mengubah hati.

Dia menanggapi musuh-musuh-Nya dengan kebenaran, penyembuhan, kebaikan, dan kasih. Dia datang untuk mengubah hati.

Kita meneladani Kristus dalam mengasihi musuh, karena memberkati orang lain dengan kebaikan dan kasih, tanpa kita sadari memberi perlindungan bagi kita sendiri. Kita terhindar dari perangkap kepahitan, kebencian, dan balas dendam. Bagaimana jika kita tidak mengasihi musuh kita? Banyak orang mengalami kecemasan yang luar biasa, insomnia, dan berbagai gangguan psikis lainnya ketika kepahitan dan amarah tersimpan dalam hati seseorang. Saya percaya Kitab Suci mengatakan yang terbaik, “Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang“ (Ibrani 12:15b).

Ann Marie memberikan sebuah kesaksian yang menggetarkan siapapun,

Saya menderita pelecehan seksual saat masih kanak-kanak selama beberapa tahun. Kemarahan, rasa malu, dan kebingungan yang membara mengendap di alam bawah sadar saya. Konsep pengampunan menggelisahkan saya selama bertahun-tahun. Apakah saya sudah benar-benar memaafkan pelaku? Rasanya saya memaafkannya, tetapi “mengasihi” sang pelaku kekerasan terhadap saya? Rasanya tidak mungkin. Itu adalah hal terakhir yang ada di pikiran saya.

Kira-kira 10 tahun yang lalu, pelaku kekerasan melakukan lagi kejahatannya. Gelombang kemarahan dan kepahitan segera mendidih di dalam diri saya. Reaksi saya adalah reaksi fisik dan emosional yang kuat. Saya akui, dengan segala kejujuran, bahwa setelah kejadian itu, saya benar-benar ingin dia dibakar di neraka atas semua siksaan yang ditimbulkan dalam hidup saya. Saya tahu betapa mengerikan kedengarannya, tetapi itu adalah faktanya. Rasa jijik dan kepahitan menyembur menjadi kebencian.

Bukan saja saya tidak pernah menerima permintaan maaf atau pengakuan bersalah, tetapi setelah bertahun-tahun, saya menyadari bahwa dia masih ingin menyakiti saya. Saya ingin dia membayar tindakannya. Satu-satunya alasan saya dapat mengakui hal ini, dan merasa terpaksa, adalah karena hanya Yesus yang mengubah hati saya dalam situasi ini. Meskipun kedengarannya mustahil, pada akhirnya, Yesuslah yang menolong saya mengasihi musuh tersebut. Anugerah-Nya yang mengubah respons saya terhadap orang ini. Bagi Tuhan segala kemuliaan dalam situasi ini. Itu pasti bukan dari saya.

Mengasihi musuh adalah tantangan seumur hidup. Kita mungkin akan terus disakiti, tidak dihargai, dikhianati, dan dianiaya dalam hidup ini. Tetapi ingatlah siapa Si Musuh sebenarnya dalam setiap situasi. Musuh utama ini menginginkan kita berperang satu sama lain bahkan dengan diri kita sendiri. Dia adalah iblis, bapa segala dusta. Dia tentunya tidak ingin kita memaafkan, memberkati dan mengasihi musuh kita.

Mempercayakan diri kita kepada Allah, memohon kuasa Roh Kudus, dan mencari hikmat dalam sabda-Nya membantu kita mengembangkan kasih seperti kasih Kristus. Kemudian tanggapan kita dapat menjadi serupa dengan gambar-Nya nampak saat kita mampu mengasihi musuh-musuh kita. Semoga melalui persekutuan kita setiap hari bersama dengan Tuhan dan dengan kuasa Roh Kudus, kita dapat mengasihi Tuhan Allah kita dengan segenap hati, jiwa, dan pikiran kita, dan kita dapat mengasihi orang lain, terutama mereka yang telah menyakiti kita.