“Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat.”
(Paulus)
“Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia?”
(Yakobus)
Apakah persamaan Joe Biden, Xi Jinping, Camilla Rothe, Jennifer Hudson, dan Sundar Pichai? Mereka sama-sama masuk dalam daftar 100 orang terpopuler di tahun 2020 versi majalah Time. Figur-figur ini dianggap memberi pengaruh besar pada masyarakat di generasi mereka. Contohnya, Camila Rothe. Pada Januari 2020 lalu, spesialis penyakit menular di Munich itu menjadi salah satu orang pertama yang mendokumentasikan infeksi Covid-19 tanpa gejala. Laporannya tentang penyebaran virus tanpa gejala awalnya disambut dengan ketidakpercayaan, bahkan diremehkan. Namun, setelah banyak pasien mengalami kondisi tanpa gejala, laporan Camelia pun diterima secara luas. Banyak pihak menjadi sadar bahwa keberadaan Orang Tanpa Gejala (OTG) menjadi salah satu tantangan terbesar dalam perang melawan pandemi corona di masa awal merebaknya. Temuan Camilia itu telah menyelamatkan banyak jiwa. Menurut Time, jika saja banyak orang mau mendengarkan Camilia lebih awal, penyebaran lebih besar mungkin bisa dicegah.
Semua figur di atas adalah nama-nama orang terpandang. Tentu, menjadi orang yang memiliki nama besar menjadi impian banyak insan. Namun, kita patut bersyukur, karena dalam pengertian Kitab Suci, menjadi orang terpandang bukanlah syarat seseorang dipilih sebagai umat Allah dan dipanggil untuk melayani Dia. Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Paulus menulis bahwa sangat sedikit dari warga gereja di sana yang terpandang, kaya, bijaksana, atau kuat dalam pengertian manusia. Tidak banyak dari mereka yang terlahir sebagai bangsawan. Tentu, Paulus bukan bermaksud untuk merendahkan mereka, tetapi untuk mengingatkan umat bahwa Tuhan tidak melihat popularitas dan kehebatan manusiawi sebagai alasan menjadikan mereka orang percaya. Pula, Allah tidak memilih seseorang menjadi pelayan jemaat berdasarkan dari kemampuannya yang hebat. Ini merupakan teguran lembut terhadap gejala hari ini ketika banyak orang merasa rendah diri atau inferior sebagai pelayan Allah karena merasa tidak cerdas atau tidak kaya secara materi.
Panggilan Tuhan Tidak Didasarkan atas Kemampuan Orang yang Dipanggil-Nya
Inferioritas (inferiority complex) adalah perasaan rendah diri atau gejala psikis negatif yang dialami seseorang karena merasa tidak cukup baik atas fisiknya, keahliannya, keuangannya, dsb. Mungkin tidak sedikit anak Tuhan maupun pelayan jemaat yang merasa demikian. Nabi Yeremia pernah merasa seperti rendah diri seperti itu ketika ia merespons panggilan Tuhan, “Ah, Tuhan ALLAH! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda” (Yeremia 1:6). Namun, Tuhan bersabda kepadanya, “Janganlah katakan: Aku ini masih muda, tetapi kepada siapapun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apapun yang Kuperintahkan kepadamu, haruslah kausampaikan” (Yeremia 1:7). Dari sini jelaslah bahwa panggilan Tuhan tidak didasarkan atas kemampuan orang yang dipanggil-Nya (ay.7-9).
Sebenarnya Yeremia mengajukan keberatan kepada Tuhan dengan argumen yang baik, yakini bahwa ia tidak fasih berbicara di depan banyak orang. Seperti yang kita tahu, kemampuan berbicara adalah modal utama bagi seorang public speaker. Namun, Allah tidak pernah salah memilih orang. Sebagaimana Dia tidak dibatasi oleh usia orang yang dipanggil-Nya, demikian juga bukanlah suatu masalah jika orang yang dipanggil-Nya tidak memiliki kemampuan public speaking yang bagus seperti Yeremia. Tentu kita ingat panggilan Allah atas Musa (Keluaran 4:10), Gideon (Hakim-Hakim 6:13), dan Paulus (2 Korintus 12:7). Semuanya memiliki kelemahan dalam konteks masing-masing. Bagaimana dengan kita?
Namun, Kitab Suci mendorong kita untuk tidak merasa rendah diri. Paulus pernah mengatakan bahwa Allah memilih orang-orang bodoh dan lemah, atau memiliki kelemahan dalam pandangan dunia (1 Korintus 1:27). Ini tentu saja, tidak berarti bahwa orang percaya di Korintus benar-benar bodoh dan lemah. Akan tetapi, bagi masyarakat Eropa yang dikuasai pemikiran Yunani-Romawi saat itu, mereka melihat umat Kristen sebagai orang bodoh dan pecundang. Banyak anggota gereja Korintus hanya menduduki posisi pelayan, tidak berpendidikan tinggi, tidak memiliki uang, pangkat, atau status sosial tinggi. Terlebih lagi, masyarakat Yunani-Romawi melihat mereka sebagai orang bodoh karena percaya kepada Yesus (1 Korintus 1:18). Namun, seperti yang kita tahu, oleh kasih karunia Tuhan orang-orang percaya ini sanggup melihat dengan cukup jelas untuk menerima kekayaan sejati, yaitu iman kepada Yesus Sang Juruselamat.
Matthew Henry, penafsir Alkitab dari abad ke-17, mengatakan bahwa Tuhan tidak memilih para filsuf, orator, negarawan, atau orang yang kaya dan berkuasa untuk mewartakan Injil kasih karunia. Kitab Suci menunjukkan, Allah bisa memilih siapa saja untuk melayani demi kemuliaan-Nya. Pernyataan ini selaras dengan isi seluruh Kitab Suci. Pada konteks kita sekarang ini, sebagai orang yang dipanggil untuk melayani Dia, mungkin tidak banyak dari kita adalah keturunan bangsawan Nusantara, memiliki tabungan ratusan miliar rupiah, atau memiliki jutaan pengikut di medsos. Namun demikian, Allah memilih kita untuk melayani Dia, berkarya di tengah umat-Nya. Ini dibuktikan dengan kuatnya salah satu tanda orang yang dipanggil untuk melayani Allah, yaitu adanya keadaan yang tidak terhindarkan (inevitable condition) ketika Tuhan menyediakan apa yang akan menjadi kebutuhan hamba-Nya dalam suatu karya pelayanan.
Jangan Minder: Bangkitkan Jiwa Anda yang Rapuh!
Apa yang menyebabkan orang merasa minder atau rendah diri? Perasaan tersebut bisa dibentuk oleh pengalaman masa kecil yang kurang bahagia, yang disebabkan oleh kemiskinan, absennya peran orangtua, trauma/kekerasan, kegagalan di masa lalu, dsb. Semua pengalaman pahit tersebut tanpa terasa terekam dalam alam bawah sadar (subconscious), dan kemudian mendorong kita untuk membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Akan tetapi, setelah mengenal dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita, rasa rendah diri ini perlu kita kikis. Kita diundang untuk bangkit dari kegagalan di masa lalu, meski itu membutuhkan perjuangan.
Selain menyadari status kita sebagai anak-anak Allah yang telah Dia tebus melalui karya Kristus, salah satu cara yang dapat kita lakukan untuk mengatasi rendah diri ini adalah berbicara pada diri sendiri (self talk). Ribuan tahun lalu, pemazmur melakukan self talk untuk menguatkan jiwanya yang sedang lemah. Bani Korah mengatakan, “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” (Mazmur 42:6,12; 43:5). Berbeda dengan banyak nasihat self talk ala motivator, ungkapan bani Korah ini bukan sekadar self talk yang membangkitkan kepercayaan diri, melainkan suatu seni berbicara kepada diri sendiri yang didasarkan pada kesadaran akan siapa diri kita di hadapan Allah. Demikian pula, self talk Kristen tidak pernah bertumpu pada keyakinan akan diri sendiri, melainkan keyakinan pada Allah. Ini seperti yang Paulus katakan, “Aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan” (2 Timotius 1:12).
Ketika adakalanya pengetahuan teologi atau doktrin kita tidak sanggup membuat jiwa kita keluar dari rasa rendah diri, upaya berbicara kepada diri sendiri berdasarkan sabda Tuhan akan membantu jiwa kita bangkit. “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” Berbicara kepada jiwa kita sendiri dapat menjadi alternatif cara yang baik untuk mempercepat pemulihan jiwa kita. Jadi, meski kita tidak masuk daftar orang terpopuler versi majalah ternama, Allah Sang Khalik Langit dan Bumi telah memilih kita dengan segala kelemahan kita untuk melayani Kerajaan-Nya. Mari bersama mengatasi “pembunuh” para pelayan Tuhan yang berasal dari dalam diri kita sendiri!