Oleh Stephen Witmer
Mengetahui banyak tentang Yesus mungkin membuat kita merasa bosan. Apakah Anda merasakan hal yang sama?
Kitab Markus adalah Injil Perjanjian Baru yang biasanya diabaikan pada saat Natal. Injil lainnya dimulai dengan deskripsi rinci tentang kelahiran Yesus (Matius dan Lukas) atau setidaknya menyebutkannya (Yohanes).
Kitab Markus tidak memberikan semua itu—tidak ada palungan, domba, gembala, malaikat, orang majus, bintang, ataupun bayi Yesus. Di awal, Kitab Markus menceritakan Yesus sudah dewasa. Kita langsung dibawa masuk ke dalam pelayanannya, dan selebihnya adalah cerita yang berlangsung cepat tentang pelayanan itu, yang mengarah kepada kematian-Nya.
Namun, dalam pasal keenam, Markus memberikan referensi tidak langsung tentang kelahiran dan masa kecil Yesus—dan referensi ini memberikan sudut pandang yang berbeda pada cerita Natal.
Yakin dan Heran
Markus menyebutkan “Yesus tiba di tempat asal-Nya, sedang murid-murid-Nya mengikuti Dia. Pada hari Sabat Ia mulai mengajar di rumah ibadat dan jemaat yang besar takjub ketika mendengar Dia” (Markus 6:1-2).
Penduduk kota Nazaret merespons pengajaran Yesus dengan ketakjuban dan serangkaian pertanyaan. Tiga pertanyaan pertama menyatakan keheranan yang besar: “‘Dari mana orang ini mendapatkan semua ini?’ ‘Apakah hikmat yang diberikan kepadanya?’ ‘Dan mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya?'” (Markus 6:2). Ini adalah pertanyaan nyata, sebuah usaha mencari jawaban yang bahkan tidak dimiliki oleh teman-teman Nazaret-Nya.
Keheranan orang-orang ini dijelaskan oleh sejumlah pertanyaan berikutnya, yang mana mereka mereka sudah tahu jawabannya: “‘Bukankah ia ini tukang kayu, anak Maria dan saudara dari Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudaranya yang perempuan ada bersama kita?'” (Markus 6:3). Jawaban yang dapat dipastikan adalah “Ya.” Benar, dia tukang kayu, anak Maria, dan kita kenal saudara-saudaranya.
Penduduk kota tidak dapat percaya bahwa orang yang mengajarkan hal-hal luar biasa ini adalah Yesus yang mereka kenal. Mereka begitu yakin akan apa yang mereka ketahui sekaligus bingung dengan apa yang tidak mereka ketahui. Jadi, mereka merespons dengan buruk: “mereka menolak Dia” (Markus 6:3).
Keakraban yang Salah
Apa kaitannya semua ini dengan Natal? Pandangan unik Markus tentang peristiwa Natal adalah: bahwa di satu kota kecil, fakta bahwa Yesus datang sebagai bayi dan hidup sebagai anak biasa tidaklah serta merta membawa kita mempercayai Dia, bahkan seringkali menjadi penghalang. Kita berpikir bahwa orang perlu mengenal Dia untuk percaya, namun dalam pandangan ini, keakraban justru menjadi hambatan. Tidak ada yang bisa melampaui kedekatan teman-teman di kota tersebut dengan Yesus. Hal itu menjadi suatu rintangan karena keakraban dapat menimbulkan kekecewaan.
Mungkin kita juga terlalu akrab dengan Yesus. Kita memang tidak pernah berlarian bersama-Nya di jalan-jalan berdebu Nazaret, mengajar Dia dalam ibadah anak, atau membayarnya untuk memperbaiki kursi yang rusak. Namun, kita tumbuh dengan tahu tentang Dia. Sejak kecil kita belajar jika kita menyebut, “Yesus!” pada setiap pertanyaan di sekolah minggu, kita pasti akan menjawab dengan benar hampir semuanya. Kita memainkan drama Natal setiap tahun. Kita hapal lirik semua lagu Natal.
J.C. Ryle pernah menulis, “Keakraban dengan hal-hal yang sakral memiliki kecenderungan yang besar untuk membuat manusia membencinya.” Itu benar. Mungkin kita sudah terlalu akrab dengan Yesus, sampai-sampai menganggap-Nya hanya sebagai jawaban kuis Alkitab, bukan sebagai Tuhan dan Juruselamat yang Mahakuasa, penuh kelembutan hati, yang menuntut totalitas hidup kita, layak menerima penyembahan, dan memberikan kebahagiaan abadi. Mengetahui banyak tentang Yesus mungkin membuat kita merasa seolah-olah sudah tahu segalanya tentang Dia. Pada akhirnya, kita mungkin agak bosan dengan-Nya.
Biarkan Keakraban Menumbuhkan Iman
Jika sebagian dari kita mengalami hal ini, bisa dipastikan kita tidak benar-benar mengenal-Nya. Setidaknya kita tidak cukup dekat mengenal-Nya. Mengetahui Yesus seperti mengetahui Gunung Everest. Bagi mereka yang mengenalnya, Everest semakin menggetarkan, membingungkan, menyenangkan, sulit dicapai, dan memacu adrenalin. Jika orang bosan dengan Everest, itu karena mereka hanya mempelajari fakta tentangnya di ruang tamu, bukan mendaki-nya.
Keakraban tidak perlu menimbulkan penolakan/kekecewaan. Sebaliknya, ia bisa menumbuhkan iman. Markus menyebutkan empat saudara tiri biologis Yesus. Menakjubkannya, dua dari empat tersebut—Yudas dan Yakobus—kemudian menulis surat Perjanjian Baru. Kedua pria itu mengenal Yesus secara intim sebagai saudara selama bertahun-tahun. Tetapi Yudas memulai suratnya, “Yudas, hamba Yesus Kristus” (Yudas 1), dan Yakobus memulai suratnya, “Yakobus, hamba Allah dan Tuhan Yesus Kristus” (Yakobus 1:1).
Ya, Yesus adalah saudara mereka. Tetapi yang paling penting, mereka mengenal-Nya sebagai Guru dan Mesias. Dalam kehidupan mereka, keakraban membawa pada iman. Semakin mereka tahu, semakin mata mereka terbuka. Semakin mata mereka terbuka, semakin mereka menyembah-Nya. Semakin mereka menyembah, semakin mereka ingin tahu.
Hal yang sama berlaku bagi kita ketika kita melihat Yesus sebagaimana Dia sebenarnya. Di surga, kita akan semakin akrab dengan Yesus selamanya, dan kita tidak akan pernah merasa bosan. Ingatlah kata-kata John Newton dalam “Ajaib Benar Anugerah”:
Meski s’laksa tahun lenyap,
di surga mulia,
rasanya baru sekejap,
memuji nama-Nya!
(Kidung Jemaat No. 40)
Artikel ini diadaptasi dengan izin, pertama kali diterbitkan dalam situs Desiring God dengan judul “Are You Bored with Christ at Christmas?”.
Pastikan Anda tidak ketinggalan artikel terbaru kami lainnya!
Klik untuk DAFTAR