“Manusia itu rapuh,” ujar seorang hamba Tuhan pada tahun 1999 di sebuah kesempatan. Meski ia sudah berpulang ke Rumah Bapa pada 2007 lalu, perkataannya masih membekas di benak saya, hingga sekarang. Maksud beliau mengatakan itu tidak lain agar pendengarnya menyadari, bahwa jiwa manusia itu bisa lemah, bisa sedih, bisa mengasihani diri sendiri, bahkan bisa dengan sengaja melanggar peraturan. Manusia bisa saja punya pengetahuan tentang hal yang baik, tapi justru hal tidak baik yang ia lakukan. Ia ingin berbuat yang elok, tapi seakan sering tak kuasa melakukannya.

Di situ tampak jelas betapa rapuhnya manusia. Jatuh-bangun. Anda pernah merasa rapuh seperti itu? Sejak zaman Gerika-Romawi telah muncul kesadaran filsafati semacam ini. Karena jiwa manusia rapuh, maka perlu ditangani dengan bijak, kata seorang penulis. Jika ada gangguan atau guncangan hidup, jiwa akan terimbas juga. Artikel ini tidak akan mengajari Anda, sebagai hamba Tuhan, kunci sukses agar tidak rapuh (antifragility), tetapi nuansanya lebih kepada ajakan belajar bersama mengelola diri di hadapan kerapuhan.

Bagaimana mengatasi kerapuhan kita di era modern? Mungkin Anda sudah pernah mendengar istilah “antirapuh.” Frasa ini (Antifragile) dipopulerkan oleh ahli matematika Nassim Taleb dalam bukunya, “Antifragile: Things That Gain from Disorder”. Dalam bukunya, Taleb mengatakan, tidak ada lawan kata yang tepat dari “rapuh.” Sebaiknya kita menyebutnya “antirapuh” saja, begitu usulan Taleb. “Antirapuh” ini melampaui ketahanan atau kekukuhan. Kekuatan menahan goncangan dan tetap stabil. Antirapuh berarti menjadi lebih baik. Sederhananya, “antirapuh” berarti siap menghadapi segala situasi, termasuk kegagalan. Contoh klasik dari “antirapuh” adalah Hydra, makhluk mitologi Yunani yang punya banyak kepala. Ketika yang satu dipotong, akan tumbuh dua kepala lagi di tempat yang sama . Hydra pantang menyerah. Antirapuh.

Hamba Tuhan Juga Bisa Merapuh

Hamba Tuhan atau Pendeta, seperti halnya profesi lainnya, juga menghadapi berbagai tantangan dan tekanan yang bisa membuat mereka merasa rapuh. Beberapa faktor yang mungkin justru berkontribusi pada perasaan tersebut biasanya dipengaruhi oleh tanggung jawab spiritual dan emosional, di mana seorang hamba Tuhan sering kali memikul beban emosional dan spiritual dari anggota jemaatnya, termasuk menghadapi masalah pribadi dan krisis kehidupan. Ini bisa menjadi beban yang berat dan melelahkan. Dalam situasi seperti ini seorang hamba Tuhan diharapkan menjadi teladan moral dan spiritual bagi jemaat. “Tekanan” untuk selalu tampil kuat dan sempurna mungkin saja membuat seorang hamba Tuhan merasa tertekan dan rapuh ketika ia menghadapi tantangan secara pribadi.

Pada saat yang sama, ketegangan dan konflik di dalam gereja, baik antara pendeta dan jemaat atau antar-anggota jemaat, bisa juga menjadi pemicu (precipitating factor) stres dan kekhawatiran yang signifikan bagi seorang hamba Tuhan. Terlebih, jika dalam situasi seperti ini seorang hamba Tuhan merasa kurang adanya dukungan dari pihak-pihak yang ia harapkan. Jamak didengar, hamba Tuhan mengaku tidak memiliki dukungan yang memadai dari rekan kerja, pimpinan gereja, atau komunitas mereka. Tanpa sistem dukungan yang kuat, hamba Tuhan bisa merasa sendirian dalam menghadapi kesulitan. Situasi ini jika dibiarkan bisa mendorong seorang hamba Tuhan merasa rapuh atau mengalami masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, atau stres. Kesehatan mental seseorang bisa dipengaruhi pula oleh faktor “merasa tidak memiliki dukungan” dalam kehidupan dan pekerjaannya, ini tak jarang dialami oleh para hamba Allah.

Pertanyaannya, jika dalam realitas sekarang ini kita mau mengaktifkan mode “antirapuh,” maka apa yang perlu kita coba lakukan? Pertama, kita diundang mengaku di hadapan Allah bahwa kita tidak mampu menghadapi realitas yang sedang dihadapi. Pada momen ini kita diajak melihat ke dalam diri sendiri, berdiam diri, dan melihat situasi yang dihadapi secara jernih. Meneduhkan pikiran adalah langkah awal yang baik untuk melihat realitas yang dihadapi secara layak. Kedua, berbicara kepada orang yang dipercaya dan dewasa rohani. Membicarakan isi hati dan pergumulan kepada orang yang tepat akan membantu jiwa kita merasa tenang.

Mengaku di hadapan Allah bahwa kita tidak mampu menghadapi realitas yang sedang dihadapi merupakan pengakuan akan keterbatasan kita dan kebutuhan kita akan kekuatan dan bimbingan Tuhan. Dalam 2 Korintus 12:9 kita diajarkan, “Tetapi jawab Tuhan kepadaku: Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, karena dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Dalam momen ini, kita diajak untuk melihat ke dalam diri sendiri dengan jernih, merenung, dan meneduhkan pikiran. Menyadari kelemahan kita dan bergantung pada kasih karunia Tuhan adalah langkah awal yang baik untuk menghadapi realitas secara layak. Di sinilah perlunya tetap menjaga saat teduh pribadi. Dalam Markus 6:31, Yesus mengatakan kepada murid-murid-Nya, “Marilah kita pergi ke tempat yang sunyi untuk sendirian dan beristirahat sejenak.” Istirahat dan refleksi penting bagi pemulihan mental dan spiritual. Mengambil waktu untuk beristirahat dan memulihkan diri secara fisik dan emosional adalah hal yang perlu dilakukan, bahkan dalam pelayanan.

Pula, penting untuk berbicara kepada orang yang dipercaya dan dewasa rohani. Mengungkapkan isi hati dan pergumulan kita kepada seseorang yang tepat, seperti yang diajarkan dalam Amsal 27:17, “Besi menajamkan besi, demikianlah seorang menajamkan temannya.” Mendapatkan bimbingan dan dukungan dari orang yang bijaksana dapat membantu jiwa kita merasa tenang dan mendapatkan perspektif yang berharga. Dengan langkah-langkah ini, kita tidak hanya mengandalkan kekuatan kita sendiri, tetapi juga mendapatkan kekuatan dari Tuhan dan dukungan sesama, sehingga kita dapat menghadapi tantangan hidup dengan lebih baik dan tetap teguh dalam iman. Berbicara kepada orang yang dipercaya dan dewasa rohani sangat penting karena beberapa alasan, terutama dalam konteks iman dan kesehatan mental. Orang dewasa rohani sering kali memiliki pengalaman dan kebijaksanaan yang mendalam untuk menghadapi tantangan hidup, termasuk masalah emosional dan spiritual. Nasihat dan dukungan dari seorang yang bijaksana dapat memberikan perspektif baru serta membantu seseorang merasa didukung dan dimengerti.

Pula, berbicara kepada orang yang dipercayai dan dewasa rohani bisa menjadi momen untuk bebas berbicara dan mengekspresikan perasaan. Sering kali, berbicara dengan seseorang yang dipercayai dapat memberikan ruang aman untuk mengekspresikan perasaan dan kekhawatiran tanpa rasa takut “dihakimi.” Ini dapat membantu mengurangi beban emosional dan memberikan kejelasan dalam menghadapi masalah. Dan, yang terpenting, ketika merasa rapuh, kita diundang tetap berfokus pada sabda Tuhan. Merenungkan janji-janji Tuhan dalam Kitab Suci dapat memberikan penghiburan dan kekuatan. Dalam Yesaya 41:10, Tuhan berjanji, “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau; janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.” Semoga kita senantiasa direngkuh dan dikuatkan oleh kasih Kristus di kala kerapuhan melingkupi kita.

 

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan artikel terbaru kami lainnya!
Klik untuk DAFTAR