Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu – Ibrani 13:5
Uang, meski bukan segalanya, merupakan hal penting. Ia adalah alat tukar utama dalam transaksi beragam kebutuhan manusia sehari-hari. Uang memungkinkan kita memenuhi kebutuhan dasar, seperti membeli makanan, menyediakan tempat tinggal, membayar pelayanan kesehatan, meraih pendidikan, dan sebagainya. Memenuhi kebutuhan ini sangat penting, dan jika tidak memiliki cukup uang untuk mewujudkannya, kesejahteraan pribadi seseorang atau suatu keluarga akan terganggu.
Di dunia yang tak menentu seperti saat ini, tantangan dan masalah keuangan dapat menjadi sesuatu yang dihadapi banyak orang, termasuk para hamba Tuhan. Tidak sedikit hamba Tuhan yang stres, bahkan “terjatuh” karena hal finansial. Seorang pengkhotbah Kristen yang rajin juga ada yang undur dari imannya karena tekanan kondisi keuangan yang tak kunjung membaik, lalu memeluk agama lain sebagai pelampiasan.
Uang bisa menjadi godaan bahkan kekuatan pendorong yang besar dalam hidup seseorang, dan tanpa sadar kita jatuh menghamba kepadanya. Tantangan semacam ini bisa dialami setiap manusia tak terlepas para hamba Tuhan. Keberhasilan dalam pelayanan bisa saja diukur dengan pencapaian harta benda dan jumlah saldo di rekening bank mereka. Pengambilan keputusan dalam pelayanan pun hanya berdasarkan keuntungan finansial.
Uang tidak Jahat
Nats 1 Timotius 6:10 tidak sedikit disalahtafsirkan untuk memandang bahwa Alkitab menilai uang secara negatif. “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka,” tulis Paulus kepada Timotius. Teks tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa yang negatif bukanlah uang itu sendiri, melainkan sikap hati kita terhadapnya. “Cinta uang” menjadi titik awas yang perlu diperhatikan.
Paulus sendiri juga bekerja untuk mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhannya (Kisah Para Rasul 18:3). Jadi, uang dalam konteks Alkitab diperlakukan sebagai hal baik yang cenderung dihargai jika diterima dengan sikap hati yang benar. Meski demikian, pada saat yang sama, uang wajib diwaspadai sebagai saingan potensial bagi Tuhan. Guru Agung kita Yesus Kristus mengatakan, “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Matius 6:24). Beberapa ahli menyebutkan bahwa Mamon adalah nama dewa orang Kasdim, yang mirip dengan dewa kekayaan Yunani, Plutus. Dalam bahasa Aram istilah māmōnā biasanya dipahami sebagai “penyembahan terhadap kekayaan materi.” Dari sekian banyak jenis dewa pada zaman kuno, mengapa Yesus memilih Mamon sebagai saingan Tuhan?
Yesus ingin menyadarkan pendengar-Nya bahwa uang atau kekayaan telah menjadi hasrat paling mendalam yang ingin dikejar manusia pada umumnya. Nafsu mengejar dan menumpuk uang atau kekayaan dapat menghalangi mata batin manusia untuk melihat Allah. Sehingga, uang dapat dengan mudah menjadi “pengganti” Allah yang bertahta dalam hati manusia. Penulis Ibrani menggemakan lagi realitas ini dengan mengingatkan pembacanya bahwa “cinta uang” akan menjadi jebakan yang dapat menimbulkan keserakahan, iri hati, dan egoisme. Penulis Ibrani mengingatkan agar kita tidak “menjadi budak uang” tetapi “mencukupkan diri dengan apa yang ada” (Ibrani 13:5).
Sikap terhadap Uang
Lalu, bagaimana seharusnya sikap Kristiani terhadap uang? Pertama, memahami bahwa uang adalah anugerah Tuhan. Kita bersyukur atas segala hal yang telah diberikan Tuhan, termasuk uang. Kedua, kita diajak mengelola uang dengan bijaksana. Thomas Jefferson pernah mengatakan, “Jangan pernah membelanjakan uang Anda sebelum Anda memilikinya.” Ini adalah dalil sederhana yang penting. Maknanya mengajak orang untuk tidak terjebak dalam utang karena kebiasaan konsumtif.
Sikap kita terhadap uang perlu seimbang. Uang selayaknya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah,” ujar Paulus dalam 1 Timotius 6:8. Selain itu, uang juga dapat digunakan untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Sebagai pengikut Kristus, kita perlu bermurah hati terhadap orang lain. Ketika memiliki kelebihan uang, kita diajak memikirkan orang-orang di sekitar yang membutuhkan bantuan dan membantu mereka secara sukarela. Tentu, semua disesuaikan dengan kemampuan dan kerelaan kita masing-masing.
Seorang tokoh Protestan di masa lampau mengamati bahwa ada tiga pertobatan yang diperlukan: pertobatan hati, perkataan, dan dompet. “Pertobatan dompet”, maksudnya, kita diajak sadar bahwa uang bisa menjadi “ilah” yang kekuatannya dapat mengikat kita jika dibiarkan. Tekanan untuk “menyembah” uang sebagai tuhan sangatlah luar biasa. Maka, dibutuhkan sebuah komitmen spiritual yang disengaja untuk mengelola uang dengan baik. Utamakan Tuhan Yang Mahakuasa, jangan diperbudak “rupiah yang maha kuasa.”
Pastikan Anda tidak ketinggalan artikel terbaru kami lainnya.
Klik untuk DAFTAR