Menjadi hamba Tuhan tidak berarti hidup tanpa tantangan intelektual. Pertanyaan-pertanyaan baru justru muncul di tengah iman yang dijalani setiap hari. Bagaimana jika doa, iman, pengharapan, dan kasih tidak hanya perkara hati, melainkan proses biologis yang secara aktif membentuk otak kita?

Bagi banyak orang Kristen, hal ini mungkin terdengar aneh. Kita terbiasa memisahkan iman dari tubuh, perkara rohani dari realitas biologis. Iman dianggap wilayah jiwa, sedangkan otak dipandang sekadar pusat nalar dan logika. Namun, bagaimana jika sejak semula Allah merancang otak manusia bukan hanya sebagai mesin berpikir, melainkan juga sebagai wadah bagi iman?

Pertanyaan tentang realitas iman bukanlah perkara biasa bagi Michael, seorang hamba Tuhan muda yang telah cukup lama melayani umat. Suatu malam, di kesunyian ruang kerjanya setelah minggu panjang penuh homili dan pelawatan pastoral, sebuah bisikan batin yang mengusik muncul: Apakah aku sungguh melayani Allah yang hidup, ataukah selama ini aku hanya memelihara gambaran ilahi yang lahir dari pikiranku sendiri?

Itu bukan keraguan biasa, melainkan kerinduan menggali kebenaran yang lebih dalam: apakah imannya hanyalah gejala psikologis, ataukah jawaban terhadap sesuatu atau Pribadi yang sungguh nyata? Malam itu, doanya berubah dari rutinitas menjadi jeritan dari lubuk jiwanya. Dalam doa itu, ia merasakan sesuatu berubah: ketenangan, kejelasan, bahkan kedamaian. Michael mulai berpikir: mungkin pengalaman iman bukanlah ilusi ciptaan neuron otak, melainkan misteri yang juga bertubuh, terukir dalam arsitektur pikiran oleh rancangan ilahi. Barangkali otak dan iman tidak berjalan sendiri; sebaliknya, mereka berjalan bersama sebagai mitra yang kudus.

Pencerahan batin itu membuat Michael meninjau ulang banyak asumsi lamanya, baik teologis dan juga ilmiah. Jika saat-saat teduh terdalamnya selalu disertai perubahan nyata dalam keadaan emosi dan pikirannya, mungkinkah iman justru terjalin dengan biologi? Apakah Tuhan memang menenun kepekaan rohani ke dalam struktur otak manusia, sehingga percaya bukan sekadar delusi, melainkan bagian dari rancangan? Pertanyaan-pertanyaan ini semakin mendesak ketika dibawa ke dalam percakapan ilmiah modern.

 

Iman: Misteri Rohani dalam Jalur Saraf

Kitab Suci menegaskan bahwa kasih karunia Allah bekerja melalui seluruh keberadaan manusia: jiwa, tubuh, dan roh (1 Tesalonika 5:23). Yesus, ketika menyembuhkan orang, tidak hanya memulihkan tubuh, tapi juga jiwa. Rasul Paulus pun menulis bahwa kita harus diperbarui “di dalam roh pikiranmu” (Efesus 4:23), sebuah petunjuk bahwa transformasi rohani bukanlah hal abstrak semata, melainkan juga pengalaman nyata yang dirasakan secara mental dan fisik.

Di zaman ini, neurosains mulai menyentuh realitas iman tersebut. Neurosains adalah kajian ilmiah mengenai otak, sistem saraf, dan kesadaran manusia melalui lensa biologis dan eksperimental. Dalam wacananya, terdapat dua aliran besar yang memengaruhi cara kita memahami iman.

  1. Materialisme Reduksionis
    Pandangan ini melihat seluruh aspek manusia, termasuk spiritualitas, tidak lebih dari hasil proses elektrokimia. Iman dipandang sebagai ilusi neurobiologis, sekadar produk sampingan dari mekanisme adaptasi atau pelarian emosional. Dalam kerangka ini, pengalaman religius kehilangan makna transendennya, direduksi menjadi fungsi mekanistik semata.
  2. Dualisme Transendental
    Pendekatan ini mengakui kenyataan pengalaman spiritual, tapi memisahkannya dari tubuh. Kesadaran dan iman ditempatkan seolah-olah sepenuhnya di luar wilayah biologis. Dengan demikian, iman dihargai sebagai misteri sekaligus tetap dijaga dengan jarak yang kaku dari tubuh manusia.

Kedua kerangka ini, meski berpengaruh besar, tampak belum memadai. Yang pertama mereduksi iman menjadi kimia belaka, yang kedua mengisolasi iman dari keberadaan jasmani. Padahal pengalaman iman yang hidup menunjukkan sesuatu yang lebih kaya: iman tidak terjadi secara otomatis meski ada otak, tetapi justru bersama-sama dengan otak.

Fakta ilmiah kian mendukung kemungkinan ketiga: kehidupan rohani manusia ternyata sangat terkait dengan otak. Doa yang dijalani secara teratur terbukti meningkatkan aktivitas di bagian otak yang berhubungan dengan empati dan kasih. Saat teduh Kristiani memberi pengaruh pada sistem limbik, pusat pengatur kestabilan emosi dan rasa aman. Bahkan pengalaman mistis yang penuh ekstase memperlihatkan pola gelombang otak yang khas.

Penelitian yang dilakukan oleh para ahli neurosains seperti Andrew B. Newberg, Mario Beauregard, dan Eugene G. d’Aquili menunjukkan bahwa iman dan pengalaman religius memiliki dampak nyata terhadap sistem saraf manusia. Melalui teknik pencitraan otak seperti fMRI dan SPECT , mereka mendokumentasikan aktivitas neurologis khas yang muncul selama praktik keagamaan seperti meditasi dan doa (Newberg, d’Aquili & Rause, 2001; Beauregard & O’Leary, 2007).

Aktivitas ini melibatkan area-area otak yang berkaitan dengan kesadaran diri, emosi, dan persepsi terhadap makna (Beauregard, 2011; Newberg, 2016). Meskipun demikian, dampak neurobiologis ini tidak meniadakan dimensi spiritual dari iman, melainkan justru menjadi ruang biologis di mana kasih karunia Allah termanifestasi dalam tubuh manusia. Newberg dan d’Aquili (2001) menekankan bahwa pengalaman religius merupakan interaksi kompleks antara struktur otak dan realitas spiritual, bukan sekadar ilusi neurologis. Dengan kata lain, tubuh manusia menjadi wadah di mana makna spiritual mengambil bentuk nyata secara neurobiologis (Yaden, Iwry & Newberg, 2016; Schjoedt, 2007).

Tentu saja, seorang ilmuwan skeptis akan memberikan interpretasi yang sangat berbeda terhadap data ini. Mereka akan berargumen bahwa korelasi bukanlah sebab-akibat. Fakta bahwa doa, meditasi, atau pengalaman spiritual lainnya ‘menyala’ di area otak tertentu tidak membuktikan eksistensi Tuhan. Sebaliknya, itu justru membuktikan bahwa otak manusialah yang menghasilkan pengalaman-pengalaman tersebut. Dalam pandangan ini, “iman” hanyalah fenomena neurobiologis, sebuah mekanisme adaptasi evolusioner yang memberikan rasa nyaman, kohesi sosial, atau bahkan delusi yang berguna untuk bertahan hidup. Pengalaman akan ‘Yang Ilahi’ dianggap tidak lebih dari produk sampingan dari arsitektur neuron kita yang kompleks, bukan perjumpaan dengan realitas transenden.

Keberatan ini sangat valid dan penting. Namun, perspektif neuropistis tidak menolaknya mentah-mentah, melainkan membingkainya ulang. Neuropistis, sebuah konsep filosofis baru yang saya tawarkan, berasal dari kata Yunani neûron (saraf) dan pistis (iman), merupakan kerangka integratif yang menegaskan bahwa iman tidak melayang di luar tubuh, melainkan berakar dalam otak sebagai instrumen kudus tempat kasih karunia bekerja.

Neuropistis adalah cara melihat iman sebagai realitas rohani yang menubuh, hadir melalui jalur-jalur saraf manusia, dan dirancang Allah untuk beresonansi dengan pengalaman spiritual seseorang. Jika Allah memang merancang manusia sebagai makhluk biologis, maka tentu saja pengalaman rohani akan memiliki “jejak” atau “korelasi” biologis.

Otak bukanlah penghalang bagi iman, melainkan instrumen yang dirancang untuk mengalaminya. Alih-alih melihat aktivitas otak sebagai ‘penyebab’ yang mereduksi iman menjadi ilusi, kita melihatnya sebagai wadah fisik di mana realitas spiritual dapat dialami dan dimanifestasikan. Pertanyaannya bukanlah “apakah otak aktif saat berdoa?” melainkan “mengapa otak dirancang sedemikian rupa sehingga mampu beresonansi dengan doa dan hal-hal rohani?” Di sinilah sains berhenti dan teologi dimulai.

Lebih jauh lagi, neuroteologi tidak berhenti pada pencarian data ilmiah semata untuk membuktikan keberadaan Allah. Itu menjadi undangan untuk menjalani kehidupan yang terintegrasi, menolak dikotomi antara tubuh dan roh, dan justru menekankan harmoni antara keduanya. Dalam terang ini, iman bukan hanya perasaan dalam hati, melainkan aktivitas dinamis di dalam otak; sebuah respons yang dibentuk oleh pengalaman, refleksi, dan karya lembut Roh Kudus yang menyertai perjalanan hidup manusia.

 

Otak dan Iman: Mewartakan Injil di Era Sekuler

Rasul Paulus menulis dalam 1 Korintus 6:19: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu?” Ayat ini adalah sebuah realitas teologis yang mendalam. Mengapa? Tubuh—termasuk otak, hormon, dan jaringan saraf—adalah tanah kudus tempat Roh Kudus berdiam dan berkarya. Ketika seseorang belajar mengampuni, jalur sinapsis dalam otaknya terbentuk kembali. Ketika seorang percaya menyerahkan hidupnya kepada Kristus, sistem limbiknya merespons dengan damai yang sebelumnya tak pernah dikenal.

Pendekatan neuropistis memperdalam pemahaman ini. Iman tidak dipandang sebagai pelarian dari tubuh, melainkan justru berakar di dalamnya. Kasih, pengharapan, dan iman bukan hanya urusan batin, tetapi energi ilahi yang mengalir melalui sistem biologis yang dirancang Sang Pencipta dengan kebijaksanaan dan kasih.

Jika tubuh adalah bait Roh Kudus, dan jika iman mengalir melalui sistem biologis yang diciptakan Allah, maka gereja dipanggil untuk menata ulang cara mendidik, membimbing, dan memelihara iman umat dalam terang realitas neuropsikologis yang mereka alami setiap hari. Generasi sekarang tidak lagi mencari Allah di awan-awan; mereka bergerak di tengah kehidupan yang diliputi teknologi, tekanan emosi, dan pencarian makna eksistensial.

Di sinilah neuropistis hadir sebagai jembatan teologis sekaligus relevan secara budaya. Ia menyatukan iman dan ilmu pengetahuan, bukan dengan rasa takut, melainkan dengan penghargaan bahwa sains pun bagian dari wahyu umum Allah.

Oleh karena itu, pendekatan ini dapat menjadi jawaban yang menghubungkan dimensi biologis dan teologis. Ini penting, mengingat tingginya gelombang sekularisasi, yang tajam mengasingkan yang spiritual dari yang sehari-hari. Fenomena sekularisasi tampak jelas di banyak negara Barat. Data menunjukkan penurunan tajam dalam identifikasi Kristen. Antara tahun 1966 hingga 2016, masyarakat dunia mengalami penurunan tajam dalam identitas Kristiani, seperti di Inggris, Australia, Norwegia (Sookdheo, 2017; Berlinger, 2017).

Semua ini menunjukkan pergeseran besar dari warisan Kristiani menuju masyarakat yang semakin sekuler dan pluralistik. Dalam lanskap ini muncul kelaparan baru: apakah iman sungguh rasional? Lebih jauh lagi, apakah iman itu nyata secara biologis? Neuropistis menjawab kerinduan ini dengan membangun jembatan kokoh antara iman dan sains.

Gereja memperoleh bahasa baru untuk berbicara kepada generasi digital:

  • Ketika engkau berdoa, otakmu berubah.
  • Ketika engkau mengasihi, otakmu diperkuat.
  • Ketika engkau percaya, otakmu menjadi ruang kudus tempat kasih karunia bekerja—nyata, biologis, sekaligus transenden.

Queeny (bukan nama sebenarnya), seorang wanita berusia 42 tahun, bertahun-tahun hidup dengan memori pedih akibat pelecehan seksual yang dilakukan ayah kandungnya sendiri. Setiap kali bayangan itu muncul, tubuhnya diliputi ketegangan, jantung berdegup kencang, dan malam-malamnya berulang kali pecah oleh mimpi buruk. Ia melayani di gereja, namun luka sejarah itu membentuk tembok dingin di hatinya.

Namun, dalam tangis dan pergumulan panjang serta melalui latihan hidup dalam pengampunan, perlahan sesuatu mulai bergeser. Ia menyadari tubuhnya lebih tenang, tidurnya lebih pulih, dan rasa takut yang selalu menghantuinya perlahan berkurang. Seorang konselor yang menemaninya menjelaskan bahwa proses pengampunan itu menciptakan jalur baru di otaknya. Aktivitas di amigdala, pusat rasa takut itu, mereda, sementara hubungan dengan prefrontal cortex, bagian otak yang mengatur kendali diri, penilaian moral, dan empati, semakin menguat.

Kisah Queeny memperlihatkan bagaimana iman bekerja secara nyata, bukan hanya dalam batin, melainkan sampai ke dalam sistem saraf. Di sinilah kita melihat bahwa neuropistis memberi bahasa baru untuk memahami karya Allah yang menyentuh kedalaman biologis manusia. Dari pengalaman personal ini, kita bergerak menuju pemahaman yang lebih luas tentang misteri iman.

 

Kesimpulan

Iman tidak pernah berhenti sebagai fungsi otak, dan ia juga tidak bisa direduksi menjadi ilusi belaka. Otak pun tidak pernah menjadi musuh iman. Justru di dalam tubuh manusia yang rapuh namun mengagumkan, Allah bekerja dengan setia: membangkitkan kasih, memperbarui pengharapan, dan menyalakan iman. Melalui perspektif neuropistis, kita menyadari bahwa hidup rohani berarti mengakui tubuh (termasuk otak) sebagai bagian dari misteri kudus iman, yang terus-menerus dibentuk oleh kasih karunia.

Kisah Michael hanyalah satu dari sekian banyak pergumulan. Barangkali di gereja-gereja, seminari, dan ruang-ruang tamu yang hening, ada pria maupun wanita yang menyimpan pertanyaan yang sama: Apakah aku sungguh berjumpa dengan Allah, atau hanya menggemakan pikiranku sendiri? Mereka berdoa, mengajar, melayani, namun jauh di dalam hati mereka merindukan iman yang bukan hanya diucapkan, melainkan dialami, nyata dalam jiwa sekaligus dalam jaringan saraf.

Seperti Michael, kita dapat menemukan bahwa iman tidak pernah dimaksudkan melayang di atas tubuh, melainkan dihidupi di dalam tubuh. Doa dapat menjadi irama yang menata ulang otak kita. Harapan dapat menorehkan jalur-jalur baru yang memperbarui pikiran. Kasih, seiring waktu, dapat mengubah arah niat hati dan respons kita terhadap sesama.

Bayangkanlah: setiap kali kita belajar mengampuni, otak kita sedang menata ulang dirinya menuju belas kasih. Setiap kali kita berdoa dalam keheningan, pengharapan sedang menggambar jalur baru di saraf kita. Setiap kali kita percaya, sekecil apa pun, arsitektur kudus sedang bertumbuh di dalam diri kita.

Bagi para hamba Tuhan, kesadaran ini menjadi undangan baru: untuk mendidik, menggembalakan, dan memuridkan jemaah dengan pemahaman bahwa pertumbuhan rohani juga berakar dalam tubuh. Pemuridan dapat kita lihat bukan hanya sebagai penguasaan doktrin atau praktik spiritual, melainkan juga sebagai karya Roh Kudus yang dengan lembut membentuk ulang jalur-jalur batin kita, menata pikiran, dan mengarahkan hati.

Maka, kita diundang berjalan bersama dalam napas doa, dalam kasih yang mendalam, dan dalam iman yang hidup. Di sana, kita menemukan bahwa kasih karunia Kristus tidak jauh di luar sana, melainkan berdenyut di dalam tubuh kita, membentuk otak, memperbarui pikiran, dan menguduskan kita semua menjadi bait Roh Kudus yang hidup.

 

Rujukan:
  1. Beauregard, M. (2011). Functional neuroimaging studies of emotional self-regulation and spiritual experiences. In: Exploring Frontiers of the Mind-Brain Relationship. New York: Springer, pp. 255–268.
  2. Beauregard, M. & O’Leary, D. (2007). The Spiritual Brain: A Neuroscientist’s Case for the Existence of the Soul. New York: HarperOne.
  3. Newberg, A.B. (2016). Principles of Neurotheology. New York: Routledge.
  4. Newberg, A.B., d’Aquili, E.G. & Rause, V. (2001). Why God Won’t Go Away: Brain Science and the Biology of Belief. New York: Ballantine Books.
  5. Schjoedt, U. (2007). Den religiøse hjerne – En introduktion til religionsvidenskabelig hjerneforskning. Psyke & Logos, 28(2), pp. 460–478. Available at: https://tidsskrift.dk/psyke/article/download/8410/6969/0
  6. Yaden, D.B., Iwry, J., & Newberg, A.B. (2016). Neuroscience and Religion: Surveying the Field. Available at: http://behavioralhealth2000.com/wp-content/uploads/2017/12/Neuroscience-and-Religion-Surveying-the-Field.pdf