Sebagai manusia yang terbatas, seringkali kita lelah karena merasa gagal. Bisa saja kita merasa gagal dalam pelayanan, penggembalaan, keluarga, kehidupan kita sehari-hari, dan lain sebagainya. Perasaan gagal itu seperti api yang menyala dalam hati kita. Ia membakar batin kita, dan membuat kita menderita. Dan pedihnya, tidak seorang pun yang tahu pergulatan eksistensial ini.

Kita sendirian, kita kesepian. Seperti lirik dalam sebuah lagu lawas, “Mungkin lebih baik begini, menyendiri di sudut kota ini.” Liriknya menunjukkan kegundahan dan ratapan. Mungkin saja kutipan tembang itu mewakili batin kita juga, dalam konteks kita masing-masing. Menangis di dalam tawa, meratap di tengah gurauan, kita berusaha tegar di tengah tugas-tugas yang kita kerjakan, meski ruang hati kita terkoyak.

Merasa gagal itu menyakitkan. Seakan kita telah melakukan semuanya dengan salah, atau kita mulai percaya bahwa ternyata kita tidak cukup baik. Tidak cukup hebat. Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan semacam ini, “Mengapa aku tidak bisa menjalankan studi dengan baik? Mengapa aku merasa pelayananku tidak maksimal? Mengapa aku tidak bisa menang satu kali saja?” Mungkin kita mengenal pertanyaan-pertanyaan ini. Barangkali inilah yang bergema di kepala kita kadang-kadang atau bahkan sepanjang waktu?

Kita merasa gagal karena keterbatasan yang kita miliki. Ya, keterbatasan membuat kita tidak bisa melakukan semua hal baik yang kita inginkan. Bahkan, ketika kita sudah meminta Tuhan menghalau semua keterbatasan yang kita miliki, ternyata kita masih tinggal dalam semua keterbatasan itu.

Merasa Gagal karena Keterbatasan Diri

Ternyata bukan saja kita yang pernah (merasa) gagal. Seorang tokoh besar dalam Alkitab seperti Paulus pun pernah mengalami hal yang sama. Ia gagal mencabut “duri” yang ada dalam dagingnya. Apa pun penafsiran yang ditawarkan mengenai kata “duri” itu sendiri, yang pasti duri tersebut pastilah sesuatu yang menyakitkan atau tidak menyenangkan murid Gamaliel itu. Sesuatu yang membatasi Paulus dalam berkarya, bahkan mungkin menantangnya dengan bayangan kegagalan.

Dalam pelayanan Paulus, sebagai Rasul, pengajar, misionaris, gembala, ia menyadari ada keterbatasan yang ia miliki. Ia menyebut memiliki “duri” (2 Korintus 12:7). Bandingkan dengan Bilangan 33:55, “Tetapi jika kamu tidak menghalau penduduk negeri itu dari depanmu, maka orang-orang yang kamu tinggalkan hidup dari mereka akan menjadi seperti selumbar di matamu dan seperti duri yang menusuk lambungmu, dan mereka akan menyesatkan kamu di negeri yang kamu diami itu.” Seperti duri yang menusuk lambung tentu merupakan gambaran dari situasi yang menyakitkan dan menyebalkan. Bagi kita yang merasa gagal karena keterbatasan yang dimiliki, tentu gambaran ini bisa dengan mudah kita pahami, bukan?

Duri yang Dibiarkan

Sudah berulang kali Paulus memohon kepada Tuhan agar “duri” itu dicabut, tetapi dalam 2 Korintus 12:9 Tuhan mengatakan, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Ayat ini menjadi salah satu bagian Alkitab yang menantang. Sebab, dengan sengaja Allah membiarkan sesuatu yang menyakitkan hadir dalam diri atau kehidupan seseorang yang beriman kepada-Nya. Dalam sebuah penafsiran, “duri” ini dimaksudkan untuk mengimbangi “kesombongan” (Yunani: ὑπεραίρω — huperairô) yang mungkin saja dimiliki oleh Paulus. Sehingga, “duri” (σκόλοψ — skolops) (Ibrani: קוֹץ — Qots) itu sengaja dibiarkan Tuhan demi menjaga Paulus agar tetap berlaku rendah hati. Adanya rintangan ini merupakan kehendak Tuhan yang sudah memakai pertimbangan yang matang, bahwa dalam kehebatannya sebagai Rasul, Paulus mungkin saja menjadi pribadi yang sombong. Namun, sekali lagi, ini adalah tafsir. Kita boleh setuju, boleh tidak.

Terlepas dari itu, surat 2 Korintus memang berisi teologi yang paling lengkap dalam Perjanjian Baru mengenai penderitaan Kristen (2 Kor. 1:3-11; 2 Kor 4:7-18; 2 Kor 6:3-10; 2 Kor 11:23-30; 2 Kor 12:1-10). Bahkan, Paulus sendiri setelah menyadari bahwa Allah membiarkan “duri” itu tetap tinggal di dalam dirinya mengatakan bahwa ia terlebih suka bermegah atas kelemahannya, supaya kuasa Kristus turun menaunginya. Karena itu Paulus senang dan rela tinggal di dalam kelemahan, di dalam kesukaran, dan di dalam kesesakan oleh karena Kristus. “Sebab, jika aku lemah, maka aku kuat,” ujar Paulus (ayat 10). Bagian ini mengajarkan kepada kita sedikitnya dua hal.

Pertama, kenyataan bahwa Tuhan tidak menjanjikan kita kesuksesan seumur hidup. Alih-alih sukses menghilangkan “duri,” Tuhan justru mengatakan, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu.” Cukup berarti jatah berkat dan karunia yang Allah titipkan itu pas, tidak kurang, tidak lebih. Bandingkan dengan perumpamaan talenta dalam Matius 25:14-30. Ada tiga hamba yang masing diberi 5, 2, dan 1 talenta. Takaran itu pas, sesuai dengan kebijaksanaan dan kehendak sang tuan.

Tuhan tidak menjanjikan kita kesuksesan seumur hidup, atau memberikan semua yang menjadi impian kita. Untuk itu, kita diundang untuk merasa cukup. Di saat yang sama kita diajak mewaspadai salah satu akar masalah kehidupan, yaitu tidak merasa cukup. Tentu kita ingat Doa Bapa Kami di mana Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita untuk meminta kepada Bapa “makanan” atau “rezeki yang secukupnya pada hari ini.” Dengan berkat yang cukup itu kita didorong untuk memaksimalkan segala potensi hidup kita.

Seperti kisah sang tuan yang memberi talenta dalam Matius 25:14-30, ia berkata “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Matius 25:23). Kisah tentang talenta ini mengajak kita, bahwa dengan apa yang ada pada kita saat ini, baik itu sesuai idealisme kita atau tidak, sudah selayaknya kita memaksimalkan semua itu. Kita tidak perlu menunggu “duri” atau keterbatasan dalam hidup kita dicabut terlebih dulu, baru memaksimalkan segala potensi kita. Kita diundang untuk melakukan semua yang terbaik dalam keadaan kita saat ini dan sekarang, sebagaimana adanya kita.

Kedua, Allah menguatkan kita dan menunjukkan kekuatan-Nya melalui keterbatasan manusiawi kita yang nyata. Ketika Paulus merasa gagal, Tuhan menjawab, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Dari nats ini kita dapat memahami bahwa kegagalan tidak menjadikan kita sebagai orang yang kalah, namun justru sarana menyatakan kuasa Tuhan yang lebih kuat. Kegagalan mendorong kita belajar dari para tokoh iman dalam Alkitab yang dalam kegagalannya, mereka tetap percaya kepada Allah, dan berbuat terbaik yang mereka bisa lakukan. Sebut saja, Musa, Gideon, Daud, juga Paulus sendiri. Paulus putus asa dalam keinginannya untuk menemukan kelegaan dari beban yang ia tanggung. Dalam situasi seperti ini, ada dua cara untuk meringankan beban kita: (1) Dengan menghilangkan beban atau (2) Dengan memperkuat bahu yang menanggung beban.

Paulus mengalami cara yang kedua. yaitu bahwa kasih karunia Allah sudah cukup. Realitas yang ia hadapi tidak berubah, dan ia tidak bisa mengubahnya. Itu di luar kendalinya. Tetapi menerima kenyataan tersebut, dan tetap berkarya meski Tuhan tidak mencabut duri dari padanya.

Jangan Menyerah!

Budaya zaman sekarang ini tampaknya mengidolakan “manusia mandiri” yang dilandasi semangat ingin mengandalkan diri sendiri. Dalam satu sisi mungkin saja semangat ini baik, dalam arti kita tidak mudah menggantungkan diri pada orang lain. Tidak mengandalkan hidup pada orang lain. Namun, di sisi lain kita juga perlu mengingat bahwa manusia memiliki keterbatasan dan kekurangan. Kita perlu melihat secara jujur keterbatasan, kelemahan, dan kekurangan kita. Jika kita sudah menemukannya, kita diajak untuk menata diri, mengatur langkah ke depan, dan tidak pesimis.

Pesimis sama artinya dengan sikap menghadapi suatu keadaan dengan tidak yakin, putus asa, dan hilang harapan. Perasaan dan sikap seperti ini adalah bukti keterbatasan manusia. Ketika mengetahui ada “duri” yang mengancam kesuksesan eksistensial kita, bisa saja kita menyerah dan pesimis meski sudah pernah mengalami mukjizat dan pertolongan Tuhan di masa lalu. Namun, Paulus tidak menyerah ketika ia tahu “duri” itu masih menancap dalam dirinya. Demikian pula bani Korah ketika menyadari bahwa sekalipun situasi yang mereka hadapi membuat mereka down, di saat yang sama mereka tidak ingin terjebak pada emosi negatif. Mereka menyanyikan, “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” (Mazmur 42:6,12; 43:5).

Mereka percaya bahwa semua peristiwa yang terjadi ada dalam kendali Allah dan ada kebaikan yang Dia kerjakan di dalamnya (Mazmur 115:3; Yesaya 46:10; Matius 10:29-30; Roma 8:28). Tidak menyerah adalah kunci dalam situasi kritis seperti ini.

Seperti yang Bani Korah serukan kepada diri sendiri, “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku,” perkataan ini memberi semangat dan mengobarkan kembali harapan kita. Seruan ini tidak berarti mengingkari peristiwa buruk yang tengah terjadi, tetapi mengajak jiwa kita bangkit dari pesimisme dan melihat jauh melampaui realitas yang ada, bahwa harapan akan hari depan yang baik tetap ada.

Dengan kekuatan sendiri, kita tidak akan dapat lepas dari sikap pesimis. Tetapi, oleh kuasa Roh Kudus, kita percaya Dia menguatkan kita. Kitab Suci mengatakan, “Serahkanlah segala kekhawatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1 Petrus 5:7). Sabda Tuhan juga mengingatkan kita, “Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (Filipi 4:6), karena Tuhan sekali-kali tidak akan membiarkan dan meninggalkan kita (Ibrani 13:5b).

“Duri” atau keterbatasan manusiawi memang telah menyudutkan kita pada keadaan yang tak mudah, dan kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di luar kita. Namun, kita bisa menentukan seperti apa kita hendak merespons: dengan pesimis dan panik, atau dengan iman dan pengharapan? Di sinilah iman kita dilatih. Kita diundang untuk tidak menyerah, dan tetap bersandar pada janji pemeliharan-Nya, serta meyakini kembali bahwa bagi Allah tidak ada yang mustahil (Lukas 1:37). Di tengah perasaan gagal dan ketidakpastian, kita tidak dipanggil untuk bersikap takut dan pesimis, tetapi diajak melangkah dengan harapan. Tuhan kita adalah setia, Dia tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya, Tuhan juga ada dalam detail terkecil hidup kita. Jadi, jangan menyerah!

 

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan artikel terbaru kami lainnya!
Klik untuk DAFTAR