Anda tentu pernah mendengar istilah “Revolusi Mental.” Artikel ini bertolak dari istilah itu, tapi izinkan saya memulainya dengan menggemakan lagi kalimat “menusuk” dari abad lalu di negeri ini:
“Mental manusia Indonesia itu tidak suka berpikir logis, tidak suka berusaha dengan gigih dan tekun, suka meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak disiplin, dan suka mengabaikan tanggungjawab,” ujar Prof. Koentjaraningrat, seorang pakar antropologi.
Anda marah atas simpulan itu?
Tunggu dulu. Coba tilik analisis Mochtar Lubis, seorang tokoh jurnalistik, yang tiba pada konklusi bahwa “Manusia Indonesia pada umumnya bermental munafik, enggan bertanggung-jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, berwatak lemah, boros, bukan pekerja keras, suka mengeluh, mudah dengki, arogan, dan tukang tiru.”
Tambah marah? Jangan!
Simpulan para ahli tersebut mungkin mengejutkan, bahkan Anda boleh saja tidak setuju dengan kesimpulan mereka. Namun, tampaknya faktor manusia memang menjadi tantangan di bangsa ini. Michael Polanyi mengatakan bahwa mental adalah “Keadaan manusia seutuhnya” (A comprehensive feature of man). Maka, merestorasi Indonesia berarti merombak mental manusianya, seperti ujar seorang tokoh nasional, “Nation building tidak mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya atau mental mereka yang menjalankan sistem ini.”
Kalimat ini tidak berlebihan. Kita memang sering tertatih dalam mengubah mental kita. Anggaplah mental itu “cara atau kecenderungan dasar pikiran kita.” Sebagai orang Indonesia, mungkin mental kita tidak jauh-jauh dari hasil pengamatan Koentjaraningrat dan Lubis yang tadi disebutkan.
Spiritualitas yang Mendasari Mentalitas
Lantas bagaimana? Kelihatannya ini menjadi tantangan kita bersama, bukan sekadar untuk berjargon revolusi mental, tetapi wajib menilik akar mentalitas yang tidak ideal. Kita perlu revolusi spiritual. Sebab, spiritualitas bukanlah sekadar “kehidupan batin” atau “suatu perasaan,” karena hal tersebut bisa saja “naik-turun,” sesuai kondisi jiwa seseorang. Dalam kekristenan, spiritualitas itu terkait erat dengan kasih Allah yang dicurahkan dan dirasakan dalam diri manusia. C.S. Lewis mengatakan, “Hal yang paling penting diingat adalah meskipun perasaan kita datang dan pergi, tapi kasih Allah kepada kita tidak demikian” (The great thing to remember is that though our feelings come and go God’s love for us does not).
Jadi, Spiritualitas bukan sesuatu yang bersifat jiwani atau sekadar perasaan saja, lebih dari itu, spiritualitas itu menyatu dengan aspek tubuh dan jiwa, termasuk pikiran seseorang yang terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, seluruh aspek kehidupan seseorang sejatinya adalah spiritualitas. Mengacu pada tradisi Kristiani, Kitab Suci mengarahkan, “Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia, dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka” (Efesus 4:17-18).
Ketika seseorang serius dengan kehidupan religiusnya, ia diundang hidup tidak lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Tuhan dengan “pikirannya yang sia-sia” dan “pengertiannya yang gelap.” Hal ini pun terutama penting diingat oleh para hamba Tuhan yang melayani jemaat. Perubahan pikiran perlu terjadi ketika seseorang mengaku sebagai pelayan jemaat. Dengan kondisi natur manusia itu, maka tidak heran bila segala macam kejahatan, termasuk yang dilakukan oleh oknum-oknum hamba Tuhan masih bisa begitu kuat menggejala.
Maka, revolusi spiritual perlu terjadi demi terciptanya revolusi mental yang sejati, baik di antara umat Kristiani maupun para pelayan Tuhan. Mental merupakan ikatan yang tak terpisahkan dari hati manusia. Revolusi spiritual berarti revolusi hati. Tepat seperti ujar Yesus , “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat” (Matius 15:19). Dengan kata lain, jika hati manusia direvolusi, pun mentalnya akan terbarui.
Langkah awalnya, kita diundang menyadari kondisi spiritualitas kita. Terus terang terhadap diri sendiri dan kepada Allah bahwa hati kita tidak seindah yang orang kira (1 Yohanes 1:9). Langkah kedua, kita diajak berhenti melakukan hal-hal yang berlawanan dengan hukum positif dan hati nurani (Yohanes 5:15). Langkah ketiga, kedua proses di awal tadi perlu terus dilatih (Roma 5:4). Meski jatuh bangun, tidak perlu minder. Jangan lelah! Revolusi spiritual memang butuh latihan, proses, dan energi. Syaratnya, kita bersedia. Itu saja. Pada saat yang sama, keterlibatan pihak lain, baik itu kelompok kecil yang berisi orang-orang dewasa rohani atau hamba Tuhan maupun mentor begitu penting dalam membantu proses revolusi spiritual yang sedang berlangsung. Jika ikhtiar revolusi spiritual secara konsisten kita pertahankan, dengan bantuan dan rahmat Allah, maka niscaya proses pengudusan kita sebagai orang percaya maupun sebagai pelayan umat akan berjalan dengan baik. Menurut saya, inilah esensi dari revolusi mental itu sendiri, yang dulu pernah nyaring terdengar, tapi kini dianggap sepi.
Pastikan Anda tidak ketinggalan artikel terbaru kami lainnya!
Klik untuk DAFTAR