Henri Nouwen pernah mengatakan, “Siapa yang dapat mendengarkan kisah kesepian dan keputusasaan tanpa mengambil risiko mengalami rasa sakit yang sama di dalam hatinya sendiri dan bahkan kehilangan kedamaian pikirannya yang berharga?” Kalimat itu tersurat dalam buku terkenal yang ia tulis, The Wounded Healer: Ministry in Contemporary Society. Untaian aksara tersebut dimaknai oleh Nouwen bahwa setiap orang yang melayani tidak dapat menghilangkan penderitaan tanpa memasukinya. Atau dengan kata lain, seorang hamba Tuhan, termasuk pemimpin rohani yang sedang melayani umat pun dapat mengalami luka dan penderitaan yang tidak diketahui orang lain.

Jika Anda adalah hamba Tuhan yang memimpin jemaat, Anda tentu sering mendengar atau membaca topik “kepemimpinan.” Melihat realitas kepemimpinan di banyak organisasi dewasa ini, lampu sorot riset tampaknya tak jarang mengarah ke praktik kepemimpinan yang buruk. Barbara Kellerman, profesor kepemimpinan di Center for Public Leadership di Universitas Harvard misalnya, mengatakan bahwa hampir semua jenis pemimpin mengalami kejatuhan karena cacat karakter (Bad Leadership: What it is, how it happens, why it matters. Harvard University Press, 2004). Pula, yang membuat masalahnya bertambah, pemimpin model ini banyak sekali, seperti kata Jean Lipman-Bluemen. “Pemimpin seperti ini bagaikan racun yang tersebar di mana-mana,” ujar profesor di Claremont University’s Graduate School of Management tersebut (The Allure of Toxic Leaders. Oxford University Press, 2004).

Luka yang Menjatuhkan

Seorang hamba Tuhan yang memimpin jemaat pun adalah manusia biasa. Ia memiliki masa lalu dan mengalami perkembangan psikologis yang membentuknya menjadi manusia seperti apa ia sekarang. Seorang pemimpin rohani bisa saja memiliki luka yang ia bawa dari masa lalu, yang jika tidak disadari, luka itu bisa berdampak pada pelayanan sang pelayan Tuhan sebagai pemimpin umat. Dalam rentetan kasus kejatuhan hamba-hamba Tuhan yang kita ketahui, dapat dipastikan bahwa sebagai “penyembuh,” seorang hamba Allah pun adalah seorang yang “terluka.” Dalam beberapa organisasi gereja pernah terdengar keluh kesah “putus asa” dalam mencari calon-calon pemimpin karena calon pemimpin yang ada (sering kali) memimpin “ala kadarnya.” Ironisnya, kalau kita tengok ke rak-rak di toko buku, kebanyakan buku kepemimpinan yang pernah ditulis memiliki asumsi yang mendasar bahwa yang namanya pemimpin selalu berhati mulia dan kebal terhadap kelemahan moral. Tetapi, faktanya skandal demi skandal kepemimpinan di dunia ini membuktikan bahwa asumsi tersebut sering keliru. Skandal itu juga terjadi di dalam gereja selama dua ribu tahun. Henri Nouwen pun adalah salah seorang yang secara terbuka mengakui “luka” yang ia miliki, sekaligus yang menjadi pergumulan batinnya. Penelitian seorang hamba Tuhan bernama J.K. Jones tentang ketertarikan sesama jenis oleh Romo Nouwen dan percakapannya yang bisa dipertanggungjawabkan dengan Prof. Neal Windham dari Lincoln Christian University, membawanya pada simpulan yang sama seperti Philip Yancey dalam Soul Survivor bahwa Romo Nouwen mengakui pergumulan homoseksualitas dan berjuang keras mengatasinya. Ini adalah sikap yang layak diapresiasi, dan bukan menghakiminya. Setiap orang termasuk pemimpin rohani memiliki pergumulannya sendiri-sendiri. Setiap orang maupun pemimpin umat memiliki lukanya masing-masing. Luka itu, jika tidak disadari, akan membawa seorang pelayan Tuhan “terjatuh,” dan “terjatuh lagi.” Mengapa para pemimpin gereja, yang dipandang sebagai “manusia setengah dewa” itu, bisa terjatuh?

Paling tidak, menurut Sen Sendjaya, profesor kepemimpinan di Swinburne Business School, Australia, ada ada beberapa kategori manifestasi kejatuhan pemimpin gereja: seksual, finansial, relasional, intelektual, emosional, dan kekuasaan (Jadilah Pemimpin Demi Kristus, Jakarta: Literatur Perkantas, 2012). Tidak berlebihan tentunya jika kita sepakat dengan Sendjaya dalam hal ini. Kita sama-sama diingatkan bahwa eksistensi gereja memiliki dua dimensi, yaitu dimensi organisme dan dimensi organisasi. Karena dualistik dimensi tersebut, gereja senantiasa berurusan dengan dua jenis masalah, organisme dan organisatoris. Kekeliruan yang sering kali dilakukan pemimpin gereja, menurut Kenneth O. Gangel, adalah mereka memberi solusi spiritual bagi masalah organisatoris dan solusi organisatoris bagi masalah spiritual (Competent to Lead, Chicago: Moody Press, 1974).

Namun, terlepas dari dinamika tersebut, tampaknya yang paling pelik dan kronis dari kepemimpinan gereja justru muncul dari dalam diri atau karakter pribadi pemimpin itu sendiri. Masalah ini serius, dan sering kali jemaah yang menjadi “korban” dari keberadaan pemimpin gereja macam ini. Yakub Susabda, dalam acara pengutusan para mahasiswa untuk praktik selama dua bulan di tahun 2015 pernah mengatakan, “Jika seorang hamba Tuhan memiliki kepribadian yang bermasalah, maka itu akan sulit bagi gereja, karena obatnya tidak ada.” Ujaran Susabda ini tentu bisa kita maklumi. Sebab, sering kali memang isu sentral kepemimpinan di gereja adalah aspek kepribadian atau karakter si pemimpin di gereja itu sendiri. Problem karakter inilah yang menentukan jatuh-bangunnya pemimpin gereja, yang pada gilirannya akan menentukan hidup-matinya gereja. Tetapi, situasi ini bukanlah jalan buntu.

Menyadari Luka yang Perlu Disembuhkan

Jika luka itu ada dalam jiwa hamba Tuhan dan berbuah pada aspek karakternya, maka membangun kesadaran akan adanya luka yang perlu disembuhkan merupakan prioritas. Luka perlu disadari keberadaannya, sebab jika tidak, bagaimana ia dapat diatasi? Membangun kesadaran akan adanya luka itu sangat perlu, sebab karakter hamba Tuhan memegang peran terpenting dalam suatu tugas pelayanan memimpin umat. Penelitian ilmiah tentang kepemimpinan, termasuk yang dilakukan oleh James Kouzes dan Barry Posner (Credibility: How leaders gain it and lose it, why people demand it. San Francisco: Jossey-Bass, 2003), mengonfirmasi bahwa tanpa karakter, pemimpin yang sangat efektif pun suatu kali akan tergelincir dan jatuh. Tepat seperti sebuah kutipan lama, “Kompetensi dapat membawa Anda ke puncak, tetapi dibutuhkan karakter untuk membuat Anda tetap berada di posisi itu” (Competence may get you to the top, but it takes character to keep you there).

Secara hiperbola Jenderal Norman Schwarzkopf (1934–2012) menyimpulkan realitas ini, “Kepemimpinan adalah kombinasi yang kuat antara strategi dan karakter. Tetapi, jika Anda harus menjadi pemimpin tanpa salah satunya, hilangkan strategi” (Leadership is a potent combination of strategy and character. But if you must be without one, be without strategy). Jika dalam bidang umum dan militer saja karakter dianggap begitu penting, terlebih lagi bidang pelayanan kerohanian Kristiani. Ini menjadi tantangan dan perenungan kita bersama. Jika Anda bertanya, “Apa penyebab kejatuhan pemimpin di berbagai organisasi?” Tentu, tidak akan selalu sama jawabnya. Tetapi, secara historis penyebabnya tidak jauh-jauh seputar: kuasa, uang, seks, dan popularitas. Ada motto yang mengatakan “Kesuksesan membuahkan kesuksesan.” Namun, realitasnya bagi banyak pemimpin adalah “kesuksesan membuahkan kegagalan” (success breeds failure). Kesuksesan dan kedudukan dapat menjelma menjadi penjara yang memasung dan membesarkan ego pemimpin. Kita bisa menengok raja Uzia yang lupa bahwa ia sebenarnya adalah hamba Tuhan, tapi ia malah mencoba menjadi “allah kecil” (2 Tawarikh 26). Akhir hidupnya tragis.

Bagaimana Cara Menyadari Luka dan Menyembuhkannya?

Atas anugerah Allah, kita bersyukur karena Roh Kudus telah diutus untuk menolong setiap orang percaya, termasuk para pemimpin rohani (Yohanes 14:16-17). Mari memohon Roh Kudus menyingkapkan luka dalam jiwa kita. Berbicara dengan Roh Kudus melalui doa adalah cara penting untuk menyerahkan beban kepada-Nya dan meminta bantuan dalam proses mendeteksi luka yang mungkin ada. Menyadari luka dalam jiwa adalah langkah penting dalam memulai proses penyembuhan. Beberapa cara yang layak dicoba untuk melakukan hal itu, antara lain, pertama: Introspeksi. Pemimpin Kristen perlu mengambil waktu merenung dan mengevaluasi perasaan dan pikiran secara mendalam. Ini bisa dilakukan melalui doa, saat teduh, atau menulis jurnal rohani. Kedua, Konseling. Mengambil langkah untuk berbicara dengan seorang konselor Kristen atau pembimbing rohani bisa membantu pemimpin untuk mengidentifikasi dan memahami akar dari luka-luka mereka. Kita bisa saja mengalami keterkiliran hidup yang membuat jiwa kita terluka, maka kita perlu berbicara dengan konselor Kristen demi membantu menyadari luka-luka dalam jiwa kita.

Ketiga, bergabung dengan kelompok atau komunitas yang memberikan dukungan emosional dan rohani bisa sangat membantu (support system). Berbagi pengalaman dengan orang-orang yang mengerti dan peduli bisa membuka jalan untuk penyembuhan. Keempat, mengampuni siapa pun yang bersalah kepada kita. Mempraktikkan pengampunan baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain yang mungkin telah menyakiti mereka. Mengampuni adalah langkah penting dalam proses penyembuhan rohani. Kelima, menjaga kesehatan mental. Merawat kesehatan mental sama pentingnya dengan merawat kesehatan fisik. Pemimpin Kristen perlu menyadari pentingnya merawat diri sendiri, termasuk mengenali tanda-tanda stres dan kelelahan mentalnya.

Semua proses ini membutuhkan waktu, kita diajak tidak patah semangat melakukannya. Proses penyembuhan luka jiwa ini bisa memakan waktu, dan tidak ada rute yang paling tepat untuk setiap orang. Namun, dengan kesabaran, kejujuran, dan komitmen untuk berubah, pemimpin Kristen dapat menemukan pemulihan jiwa mereka. Tawaran tersebut di atas mungkin bisa saja Anda setujui untuk dilakukan, tetapi mulai mempraktikannya secara tekun adalah hal terpenting dari seluruh isi tulisan ini.

 

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan artikel terbaru kami lainnya!
Klik untuk DAFTAR