Belajar Memandang Sama seperti Yesus

Hasil survei dari Barna tentang tingkat kepercayaan diri dan kepuasan kerja para pendeta (tahun 2023) menunjukkan bahwa 41 persen dari pendeta yang mereka tanyai berpikir untuk meninggalkan pelayanan mereka. Namun kebanyakan dari kita tidak memerlukan angka survei untuk mengetahui bahwa beberapa tahun terakhir ini adalah masa-masa sulit dalam menjalankan tugas sebagai seorang gembala dan bertahan dalam menghadapi tantangan pelayanan pastoral. Dan, pada saat seperti ini, Kitab Filipi adalah pilihan yang tepat untuk memahami situasi ini.

Saya suka bagaimana “surat sukacita” ini menggabungkan tema tentang ketahanan. Paulus menulis surat ini ketika di penjara, dan ditujukan kepada gereja yang sedang menghadapi perpecahan. Namun, jemaat Filipi diminta untuk tetap penuh sukacita. Tidak ada surat lain dalam Alkitab yang begitu sering menyebut sukacita dan kegembiraan dengan begitu jelas. Jadi, mari mempersiapkan diri dengan baik untuk mempelajari surat ini dan melihat sukacita dalam pelayanan, bukan hanya tantangannya.

Kesatuan, Kerendahan Hati, dan Sukacita

Pasal 2 melanjutkan tema tentang kesatuan yang telah dimulai di Filipi 1:27, dengan nasihat tentang kesatuan dalam gereja (ayat 1-2, 14-16) dan kerendahan hati (ayat 3-4), serta memberikan contoh dari empat pribadi.

Ayat 1-2 menekankan pentingnya kesatuan, dan ayat 3-4 menekankan bahwa kerendahan hati adalah kunci untuk mencapai kesatuan tersebut. Jemaat Filipi tidak harus melakukannya dengan kekuatan sendiri, tetapi Allah bekerja di dalam mereka (ayat 12-13) untuk merendahkan diri mereka. Dengan demikian, di muka umum mereka bisa berjuang bersama demi Injil, bukan melawan satu sama lain.

Bagi jemaat Filipi, pertentangan bukanlah hal baru. Kisah Para Rasul 16 menceritakan bagaimana penganiayaan terjadi segera setelah Injil pertama kali datang ke Filipi. Paulus mengusir roh jahat dari seorang budak perempuan, dan dia serta Silas segera dihajar dan dipenjarakan. Namun sekarang, ancaman baru yang sampai kepada Paulus adalah tentang perpecahan di dalam gereja lokal ini. Jadi, Paulus, yang sedang dipenjarakan di Roma, menulis surat ini untuk mendorong jemaat Filipi mencari kesatuan dan kerendahan hati, serta mengikuti empat contoh ketekunan yang penuh rendah hati dan sukacita.

Pasal 2 memberikan contoh dari pribadi: Timotius dan Epafroditus (ayat 19-30), Kristus sendiri (ayat 5-11)—yang mana adalah inti dari pasal ini dan juga iman Kristen. Dan, ini yang akan menjadi perhatian kita, bukan hanya melihat ketekunan Yesus tetapi bagaimana caranya bertahan. Contoh yang keempat adalah Paulus sendiri (ayat 17).

Jika kita mencoba menangkap struktur penting dari nasihat Paulus dan contoh yang diberikan bagi gereja yang sedang menghadapi ketegangan internal, mungkin terlihat seperti ini: kejarlah (1) kesatuan dalam Injil, (2) melalui kerendahan hati, (3) belajar dari ketaatan Yesus di kayu salib. Jadi: kesatuan dalam Injil, melalui kerendahan hati, seperti Kristus di kayu salib. Paulus menyampaikan surat ini kepada semua orang kudus di Filipi, termasuk para penilik jemaat dan diaken (Filipi 1:1). Dalam Perjanjian Baru, “penilik,” “pendeta,” dan “penatua” adalah tiga sebutan untuk satu jabatan, yaitu pemimpin atau pengajar—jabatan dalam gereja.

Lalu, bagaimana sikap para pendeta di Filipi menerima surat ini? Dan, apa yang seharusnya menjadi panggilan kita, sebagai pendeta saat ini, dalam menjaga kesatuan jemaat, menunjukkan kerendahan hati, serta meneladani Kristus dalam membimbing gereja-gereja yang kita pimpin untuk menaati ajaran Paulus?

1. Panggilan: Pimpin Umat Kita ke dalam Kesatuan dalam Injil

Kesatuan yang dimaksud di sini adalah kesatuan gereja lokal. Fokusnya di sini bukan pada tim penatua, atau denominasi, atau gerakan injili pada umumnya, namun pada jemaat tertentu di Filipi, dan yang pasti, jemaat gereja Anda.

Kata “dalam Injil” sangatlah penting. Kita melihat syarat-syarat untuk menjaga dan mengupayakan kesatuan dalam ayat 1-2:

Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan,

Dan ingatlah apa yang baru saja ditulis oleh Paulus Filipi 1:27: “kamu teguh berdiri dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil.” Ini bukanlah kesatuan yang sederhana, atau kesatuan secara umum, atau kesatuan yang tidak terdefinisi. Inilah kesatuan dalam Injil—kesatuan dalam perjuangan bersama karena iman kepada Injil. Kesatuan yang bukan sekadar berjalan bersama tanpa konflik, namun kesatuan dalam Injil, yang seturut dengan Injil.

Jadi, melihat apa yang disampaikan Paulus, ada baiknya bagi kita yang mementingkan hal-hal doktrinal dan teologis untuk berhenti sejenak, memandang bahwa persatuan dalam gereja lokal itu penting. Paulus menghargainya, dan mendorong kita untuk menghargainya. Ketika seluruh gereja memelihara dan menikmati kesatuan dalam jemaat, yang dipimpin oleh hamba Tuhan, hal ini akan memberikan dampak bagi ketahanan dan kesehatan rohani orang-orang percaya serta penginjilan dan pertobatan orang-orang yang belum percaya. Ketika Paulus menyerukan kesatuan dalam Injil, konteksnya adalah untuk kemajuan pengabaran Injil.

Dikatakan kita harus memelihara kesatuan dikarenakan kesatuan dalam Injil bukanlah sesuatu yang dihasilkan atau diciptakan oleh manusia. Namun, Tuhan memberikannya terlebih dahulu. Dalam Kitab Efesus pasal 4 Paulus berbicara tentang mempertahankan kesatuan: Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera (Efesus 4:2-3). Allah memberi kita, sebagai gereja-Nya, kesatuan dalam mengenal Putra-Nya, mempercayai Injil-Nya, dan memiliki Roh-Nya.

Kemudian kita, harus teguh mempertahankannya, mewaspadai serangan terhadapnya—betapapun besar atau kecilnya; secara doktrin atau etika; terhadap keyakinan kita tentang Tuhan, dunia-Nya, dan Injil-Nya; melalui pengaruh dari masyarakat yang belum percaya (terutama melalui dunia maya); dan bagaimana kita memperlakukan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari.

PendetaPembawa Damai

Sebagai pendeta, kita memiliki tanggung jawab untuk memimpin jemaat mencapai kesatuan dalam Injil. 1 Timotius 3:3 (AYT) mengatakan bahwa pemimpin/penilik jemaat haruslah “bukan orang yang kasar, atau suka bertengkar, melainkan lemah lembut (pembawa damai).” Dalam pelayanan pastoral, tujuan kita adalah mewujudkan kesatuan, bukan menciptakan konflik. Kita tidak mencari masalah, tetapi mengutamakan kedamaian dan kesatuan sejati dalam Injil. Tugas kita adalah menciptakan kedamaian sejati, meskipun kadang-kadang timbul ketegangan dan konflik untuk mencapainya.

Pendeta adalah pembawa damai, bukan pembuat masalah. Kadang-kadang, kita menemui kesulitan untuk mencapai kesatuan sejati namun pada akhirnya semua itu membuat keadaan lebih baik. Perlu diingat bahwa kita bukanlah suka mencari kesulitan atau menambah masalah yang tidak perlu. Sebaliknya, kita senang dipersatukan dalam Injil, dan ini cukup berharga untuk kita menanggung ketegangan dan konflik dalam mencapai kedamaian dan kesatuan.

Kita membutuhkan hikmat untuk mengetahui cara dan waktu yang tepat menangani tantangan terhadap kesatuan Injil. Apakah dengan percakapan pribadi, atau memberi perhatian lebih banyak, dan bagaimana menangani permasalahan menyangkut publik melalui cara tertentu, seperti dalam khotbah, atau surat, atau rapat gereja.

Kita perlu menentukan seberapa besar perhatian yang harus diberikan terhadap suatu kesalahan dan untuk berapa lama. Ini adalah tantangan tersulit dalam pelayanan pastoral. Oleh karena itu, kepemimpinan yang terdiri dari beberapa orang sangat penting. Kita membutuhkan tim untuk membantu membedakan tantangan yang layak diperhatikan dan yang tidak, serta seberapa besar perhatian yang harus diberikan.

Kita perlu memastikan bahwa peran kita dalam ketegangan tersebut adalah untuk mencapai kesatuan dalam jangka panjang, bukan perpecahan yang berasal dari ambisi yang egois dan kesombongan.

Kesatuan tidak berarti keseragaman. Ayat 2 menyebutkan “sepikiran” dua kali. Ini berarti memiliki pikiran yang sama dalam hal yang paling penting—menjalankan Injil dengan benar dan merindukan kemajuannya. Kita tidak perlu takut adanya ketegangan dalam pelayanan. Kita perlu memastikan bahwa peran kita dalam ketegangan tersebut adalah untuk mencapai kesatuan dalam jangka panjang, bukan perpecahan yang berasal dari ambisi yang egois dan kesombongan. Ayat 3-4 menekankan kerendahan hati, yang berlawanan dengan kesombongan.

2. Kuncinya: Memimpin dengan Kerendahan Hati

Dengan kata lain, tujuan kita adalah melayani kebutuhan gereja, bukan kesenangan pendeta. Panggilan Paulus untuk bersatu dalam Filipi 1:27–2:2 berfokus pada kerendahan hati (Filipi 2:3 dan seterusnya).

Kerendahan hati jauh lebih kondusif untuk menghasilkan kesatuan sejati daripada kesombongan dan keangkuhan. Kesombongan mungkin akan menghasilkan kesatuan untuk sementara waktu, namun seiring berjalannya waktu, akan menghasilkan perpecahan. Kerendahan hati terkadang menimbulkan momen canggung dan konflik yang mungkin diperlukan, namun pada akhirnya, kerendahan hati cenderung mengarah pada dan penting bagi kesatuan yang sejati dan bertahan lama. Banyak perpecahan dalam gereja berasal dari kesombongan—ambisi yang egois dan keangkuhan yang kosong. Dan seringkali langkah praktis pertama untuk mengatasi perpecahan di gereja-gereja adalah setiap jemaat masing-masing merendahkan diri. Ayat 3-4 (AYT) mengingatkan:

Jangan melakukan apa pun dari ambisi yang egois atau kesombongan yang sia-sia; tetapi dengan kerendahan hati, anggaplah orang lain lebih penting daripada dirimu sendiri. Janganlah masing-masing kamu hanya memandang kepada kepentinganmu sendiri, tetapi juga kepada kepentingan orang lain.

Ayat 3-4 adalah nasihat utama dalam pasal ini, yang mengarah ke ayat 5 dan teladan Kristus. Sebagai pendeta, tugas kita bukan sekadar mengajarkan hal ini kepada jemaat, tapi pertama-tama menerapkannya pada diri kita sendiri untuk menjadi teladan.

Gagasan tentang kerendahan hati dengan memperhatikan kepentingan orang lain terlihat dalam pasal ini mulai dari teladan Yesus, Paulus, Timotius, dan Epafroditus. Meskipun dia sakit dan hampir mati, Epafroditus, mengatakan ayat 26, “Karena ia sangat rindu kepada kamu sekalian dan susah juga hatinya, sebab kamu mendengar bahwa ia sakit.” Dan, Paulus berkata tentang Timotius di ayat 20 bahwa dia “begitu bersungguh-sungguh memperhatikan kepentinganmu;” Ayat 21, begitu jelas memperlihatkan: Timotius tidak mengejar kepentingannya sendiri, melainkan kepentingan Yesus Kristus.

Ayat 4 menyebutkan “kepentingan orang lain,” dan ayat 21 menyebutkan “kepentingan Yesus Kristus.” Hal ini menjadi acuan bagi kita dalam memahami apa yang dituliskan di ayat 3-4. Menganggap orang lain lebih penting daripada diri kita sendiri tidak berarti menuruti keinginan mereka. Mengutamakan kepentingan orang lain bukan berarti membiarkan keinginan dosanya berkuasa, tetapi ada persyaratan yang ditetapkan bagaimana kita menerima mereka. Hal tersebut diperjelas dan dimurnikan dalam ayat 21, yaitu kepentingan Yesus Kristus. Dengan penuh kerendahan hati kita mengutamakan kepentingan orang lain yang sesuai, dan tidak bertentangan dengan, kepentingan Yesus, sebagaimana diungkapkan dalam Kitab Suci.

Mengapa “Pikiran”?

Mengapa penekanannya pada “pikiran”? Yang dimaksudkan di sini adalah memimpin jemaat untuk memiliki pikiran yang rendah hati. Paulus berbicara tentang kesatuan “pikiran” dalam ayat 2 dan 5, dan kemudian dua kali berbicara tentang “menganggap” atau “memperhitungkan” atau “mempertimbangkan”:

  • Ayat 3: “dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri.”
  • Ayat 6: “Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan.”

Ayat 3 dan 6 menekankan hal yang sama dan Paulus meminta jemaat Filipi, dan kita, untuk melakukan apa yang Yesus lakukan. Kata-kata menganggap, memperhitungkan, memikirkan, mempertimbangkan melibatkan pemikiran, membuat perhitungan dan penilaian. Ia memerlukan penggunaan pikiran yang berfungsi membangun dan membentuk hati, yang kemudian melahirkan pilihan dan perilaku.

Cara kita berpikir tentang diri kita sendiri, dan orang lain (dalam pikiran dan hati kita), sangatlah penting, sehingga kita dapat sungguh-sungguh rendah hati dan bukan berpura-pura rendah hati. Kerendahan hati tumbuh perlahan di ruang pikiran dan perasaan kita yang tak kita sadari. Ia terbentuk dari kebiasaan kita berpikir tentang diri kita dan orang lain, apakah dengan rendah hati atau sombong, penuh kasih sayang atau egois.

Salah satu bahaya terutama dan terbesar dalam pelayanan hamba Tuhan adalah kita tidak menyadari adanya pikiran kita yang menganggap diri lebih penting, berbakat, diperlukan, dan dihormati. Kepemimpinan selalu disertai hak istimewa dan kita merasa pantas mendapatkannya, jadi kita mungkin mulai berpikir, betapa baiknya saya berkhotbah, atau betapa hebatnya naluri kepemimpinan yang saya miliki, atau betapa banyak hal yang telah kulakukan untuk jemaat.

Salah satu bahaya terutama dan terbesar dalam pelayanan hamba Tuhan adalah kita tidak menyadari adanya pikiran kita yang menganggap diri lebih penting, berbakat, diperlukan, dan dihormati.

Perlahan-lahan, seiring berjalannya waktu, para hamba Tuhan mulai menganggap dirinya lebih penting daripada jemaat. Kita tidak pernah mengungkapkannya secara verbal, namun pola berpikir kita dan hati kita sendiri mengembangkan naluri tersebut. Dan akhirnya keputusan-keputusan dalam pelayanan mulai didasarkan atas preferensi kita, bukan lagi atas kebutuhan jemaat yang sebenarnya—yang seringkali bertentangan dengan preferensi kita.

Ketika kita menjalani pelayanan pastoral, terkadang (jika tidak sering) sikap penuh kasih dan rendah hati yang sejati membuat kita membayar harga lebih tinggi—lebih banyak bekerja, lebih banyak belajar, lebih memberi perhatian, lebih peduli, lebih banyak percakapan, lebih banyak kesabaran, lebih banyak pengajaran, lebih banyak waktu terpakai. Namun alasan kita menjadi hamba Tuhan, melayani bersama dalam membuat keputusan minggu demi minggu bagi gereja, bukanlah untuk kenyamanan dan kemudahan kita, namun untuk memenuhi kebutuhan gereja (jemaat).

Dengan kata lain, kita memang bekerja untuk mewujudkan sukacita dalam jemaat kita. Begitulah cara Paulus berbicara dalam 2 Korintus 1:24: “Bukan karena kami mau memerintahkan apa yang harus kamu percayai, karena kamu berdiri teguh dalam imanmu. Sebaliknya, kami mau turut bekerja untuk sukacitamu.” Melayani kebutuhan gereja dan menempatkan sukacita jemaat sebagai prioritas utama dalam pikiran kita, meski sering kali merupakan jalan yang lebih sulit dan membayar harga yang mahal—namun bukannya tanpa sukacita. Malah pada akhirnya lebih membahagiakan. Jadi, panggilan kita adalah untuk teguh memimpin jemaat kepada kesatuan di dalam Injil, melalui pengajaran dan teladan kita, dengan penuh kerendahan hati.

Keuntungan: Memimpin Jemaat untuk Memandang seperti Yesus

Fokus utama kita sekarang pada bagaimana bertahan dalam pelayanan—yaitu bertahan dalam pelayanan kita seperti yang Yesus lakukan. Lalu, bagaimana Dia bisa bertahan?

Filipi 2 tidak menyebutkan secara eksplisit sukacita Yesus. Ayat 5-8 menekankan ketekunan Yesus dalam merendahkan diri. Bagaimana dalam kemuliaan-Nya, Dia rela merendahkan diri sampai ke tempat yang paling hina. Kemudian ayat 9-11 menceritakan apa yang disediakan bagi Yesus, kemuliaan diberikan Allah Bapa kepada-Nya dan segala pujian tertinggi ditujukan kepada-Nya.

Mari kita pikirkan tentang apa yang Yesus hadapi, apa yang dapat membuat-Nya bertahan? Dia mengalami puluhan tahun dalam keadaan yang tidak pasti, penolakan dari kampung halamannya, kerohanian yang dangkal dan ketidakpercayaan dari murid-murid-Nya sendiri, perlawanan dari para pemimpin agama (Farisi) dan politik (Saduki), masyarakat yang plin-plan, pengkhianatan dari salah satu murid-Nya, sementara murid yang lain menyangkal-Nya, semua murid-murid-Nya melarikan diri, Ia dituduh, diadili, dan dikutuk secara tidak adil, dicambuk, dicerca, diejek, dihujat, dan yang terburuk, penderitaan dan rasa malu karena penyaliban. Bagaimana Yesus menanggung semua hal ini? Bagaimana Dia dapat bertahan? Bagaimana Dia dapat merendahkan diri dan taat sampai mati, bahkan hingga kematian di kayu salib?

Dalam bagian yang serupa, Ibrani 12:2 mengatakan, “yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia.” Saya ingin tahu sukacita seperti apa yang dimaksudkan. Secara khusus, kebahagiaan apa yang bisa didapat? Imbalan apa yang cukup berharga atas ketaatan-Nya untuk terus menyelesaikan tugas tersebut, dengan segala penderitaan dan kehinaan yang harus dihadapi?

Injil Yohanes memberi kita gambaran terbaik tentang apa yang Yesus pikirkan saat Dia mempersiapkan diri untuk penyaliban dengan tidak hanya melihat akibatnya, tetapi juga sukacitanya. Ada dua bagian khusus yang berbicara tentang hakikat dan bayangan sukacita-Nya, saat Ia menerima salib pada masa- masa menjelang pengorbanan-Nya.

Yohanes 12

Bagian pertama adalah Yohanes 12:27-33, tak lama setelah Yesus masuk diiringi sorak sorai ke Yerusalem. Sebelumnya, Yesus (dan Yohanes) mengatakan “saatnya belum tiba” (Yohanes 2:4; 7:30; 8:20). Dia mendapatkan apa yang dimiliki-Nya:

Sekarang jiwa-Ku terharu dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini. Bapa, muliakanlah nama-Mu!” Maka terdengarlah suara dari sorga: “Aku telah memuliakan-Nya, dan Aku akan memuliakan-Nya lagi!” (Yohanes 12:27-28)

Di sini kita menemukan sumber sukacita-Nya yang pertama: kemuliaan Bapa-Nya. Ketika Yesus tiba pada waktunya, dan perlu bertahan, inilah dorongan pertama yang Ia sampaikan. Dia hidup demi kemuliaan Bapanya, bukan kemuliaan diri-Nya sendiri (Yohanes 8:50), dan sekarang, ketika salib mendekat, Dia pertama-tama berdoa untuk hal ini, dan menerima jawaban langsung dari surga: “Aku telah memuliakannya [dalam hidup-Mu], dan Aku akan memuliakannya lagi [dalam dan melalui kematian-Mu, bahkan melalui kematian di kayu salib].”

Berikutnya adalah sumber kebahagiaan kedua: apa yang akan dikerjakan salib terhadap musuh lamanya. Yohanes 12:31: “Sekarang berlangsung penghakiman atas dunia ini: sekarang juga penguasa dunia ini akan dilemparkan ke luar” Setan, yang disebut Paulus sebagai “penguasa dunia” (2 Korintus 4:4) dan “penguasa kerajaan angkasa” (Efesus 2:2), secara pasti akan digulingkan sebagai “penguasa dunia ini,” dan Yesus akan merasakan sukacita karena menggulingkan dia, dan menjadi alat bagi Bapa-Nya untuk melucuti “..pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa dan menjadikan mereka tontonan umum dalam kemenangan-Nya atas mereka.” (Kolose 2:15) di kayu salib.

Yesus menyebutkan sukacita ketiga di dalam Yohanes 12:32: keselamatan umat-Nya. “ dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku.” Dia akan terangkat dari bumi—pertama berarti diangkat ke atas kayu salib, seperti yang dicatat oleh Yohanes (Yohanes 12:33). Pernyataan “sukacita yang disediakan bagi Dia” adalah sukacita yang penuh kasih. Dia datang untuk menyelamatkan (Yohanes 12:47), dan pada malam sebelum disalibkan, Dia membasuh kaki murid-murid-Nya untuk menunjukkan kepada mereka kasih yang nyata, yang membuat Dia naik ke kayu salib. Yohanes 13:1: “sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya.”

Yohanes 17

Bagian kedua adalah doa Yesus, Sang Imam Besar, dalam Yohanes 17. Tepat pada malam ketika Ia menyerahkan diri-Nya, Ia mengatakan lagi kedua sukacita yang telah Ia sebutkan dan menambahkan satu lagi “sukacita yang disediakan bagi-Nya” dalam Ibrani 12 dan Filipi 2.

Pertama, Yesus berdoa secara eksplisit menyatakan sukacita-Nya, dan itu (sekali lagi) sebagai ungkapan kasih-Nya kepada murid-muridnya. Yohanes 17:13: “Tetapi sekarang, Aku datang kepada-Mu dan Aku mengatakan semuanya ini sementara Aku masih ada di dalam dunia, supaya penuhlah sukacita-Ku di dalam diri mereka” Sukacita Yesus—yang begitu dalam, besar, dan kaya sehingga mampu untuk memikul melalui salib—tidak hanya akan menjadi milik-Nya, namun berada dalam diri umat-Nya, baik melalui perkataan maupun pengorbanan-Nya, sehingga mereka juga dapat bertahan. Yohanes 15:11: “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.” Inilah kasih: sukacita dalam membagikan sukacita yang meningkatkan sukacita umat-Nya.

Kedua, Yesus juga berdoa dalam Yohanes 17 dalam hal mempermuliakan Bapa-Nya. Ia menyebutkan bahwa hidupnya telah dibaktikan demi kemuliaan Bapa, agar nama Bapa dikenal (Yohanes 17:4, 6, 26). Namun sekarang, dalam persembahan doa-Nya, pada malam terakhir sebelum disalibkan, Ia berdoa untuk yang ketiga kalinya tentang pemuliaan diri-Nya sendiri:

Bapa, telah tiba saatnya; permuliakanlah Anak-Mu, supaya Anak-Mu mempermuliakan Engkau. Sama seperti Engkau telah memberikan kepada-Nya kuasa atas segala yang hidup” (Yohanes 17:1,5; lihat juga ayat 24).

Jika kita salah memahami tentang kekudusan Kristus, maka kita juga akan salah memahami puncak sukacita ini: kembali kepada Bapa-Nya, dan duduk, sebagai Anak Allah, di mana pekerjaannya telah diselesaikan secara sempurna, dan bertakhta di atas alam semesta. Sukacita atas takhta di surga—dimuliakan—duduk di sebelah kanan Bapa-Nya, tidak akan datang melalui cara lain selain melalui, dan karena salib. Pengagungan dan penobatan-Nya tidak hanya menunjukkan kehormatan pribadi tetapi juga kedekatan pribadi (pada-Mu sendiri dan di hadirat-Mu) (Yohanes 17:5). “Di sebelah kanan” adalah tempat kedudukan kehormatan dan kedekatan dengan Bapa-Nya. Yesus tidak hanya ingin memiliki takhta surga tetapi juga Bapa-Nya.

Pengagungan oleh dan kedekatan dengan Bapa, merupakan sukacita tersendiri yang mana Ibrani 12:2 ungkapkan, sama seperti Filipi 2: “Supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah, Bapa!”

Sukacita pada Akhirnya

Kembali ke surat sukacita, yang ditulis Paulus, Yesus rela menanggung salib, dan karena itu Allah “sangat meninggikan Dia.” Yesus bertahan dengan memandang pada imbalannya—yaitu sukacita. Dia memandang sukacitanya—kemuliaan Bapa-Nya, kebaikan umat-Nya, kekalahan musuh-musuh-Nya, dan keagungan serta kedekatan diri-Nya dengan Bapa, yang disebutkan dalam Filipi 2:9-11:

Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!

Jadi, para pendeta yang lelah, “Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa. Dalam pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan darah. (Ibrani 12:3-4)

Marilah kita belajar memandang sukacita seperti yang Yesus lakukan. Kita hampir jarang mengingat bahwa kemuliaan Kristus adalah tujuan besar dan sukacita besar kita. Betapa besar panggilan yang kita miliki dalam diri-Nya, bahwa kita dipercayakan memimpin gereja dalam kemenangan, menghancurkan Setan di bawah kaki kita. Kita, para pendeta dan hamba Tuhan, yang melayani demi sukacita di dalam jemaat, memperkaya sukacita kita dengan membawa orang lain kepada sukacita yang lebih dalam lagi di dalam Yesus.

Harinya akan tiba, di mana segala pengorbanan dan tantangan serta biaya dan harga dari merendahkan diri dalam pelayanan pastoral akan berakhir. Pada hari itu, “Maka kamu, apabila Gembala Agung datang, kamu akan menerima mahkota kemuliaan yang tidak dapat layu. (1 Petrus 5:4)

Maka frustrasi dan keputusasaan dalam pelayanan di zaman ini akan menambah sukacita kita yang tiada akhir. Pada akhirnya, kita akan melihat bagaimana ujian yang kita lalui telah mempersiapkan kita untuk kemuliaan kekal. Dan, gereja—di mana kita menjadi bagiannya, dan yang untuknya kita telah bekerja keras—pada akhirnya akan disempurnakan, dalam kesatuan yang sempurna, mempelai wanita yang kudus dan tanpa cela, dipersembahkan kepada Kristus dalam kemegahan, tanpa noda atau kerut atau hal-hal semacam itu.

Kesatuan akhir akan datang. Perpecahan dan ancaman tidak akan ada lagi. Dan, semua perjalanan sulit di sepanjang pelayanan kita akan digantikan dengan kedamaian, kemuliaan, dan sukacita yang melampaui imajinasi terbaik kita.

Saudaraku, jangan menunggu sampai berada di akhir dari pelayanan baru menemukan sukacita.

 

Artikel asli: Before You Quit the Ministry

 

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan artikel terbaru kami lainnya!
Klik untuk DAFTAR