Dorongan mendasar bagi banyak hamba Tuhan dalam melayani umat adalah cinta kepada Allah. Ini adalah sebuah cinta yang bukan sekadar pengakuan pribadi, melainkan menemukan wujud konkretnya dalam pengabdian kepada sesama, baik di gereja, sekolah, maupun lembaga Kristiani lainnya. Dengan demikian, pelayanan menjadi ekspresi nyata dari sirkulasi kasih ilahi: sebuah cinta yang mengalir dari Allah dan kembali kepada-Nya melalui umat yang dilayani.
Pengalaman iman ini saya tawarkan untuk dibaca melalui sebuah gagasan filosofis yang saya sebut Sein zum Lieben (ada menuju Cinta). Istilah ini, yang tidak ditemukan dalam filsafat klasik, saya ajukan untuk menggambarkan bahwa keberadaan (sein) manusia pada dasarnya memiliki arah (zum) pada cinta (lieben). Manusia ada bukan hanya karena kesadarannya akan dunia material, melainkan karena kemampuannya mencintai, membangun relasi, dan menemukan makna dengan melampaui dirinya sendiri (transendensi) menuju yang lain.
Jika Martin Heidegger berbicara tentang Sein zum Tode (ada menuju Kematian) sebagai kesadaran yang menuntun manusia pada hidup autentik, artikel ini tidak menolaknya, melainkan melengkapinya. Saya menawarkan sebuah jalur komplementer: Sein zum Lieben, sebuah kesadaran bahwa di samping kefanaan biologis, manusia memiliki tujuan makna yang terarah pada cinta, yang memungkinkannya melampaui keterbatasan dirinya melalui hubungan yang autentik dengan sesama dan dengan Allah.
Dalam terang iman Kristiani, gagasan Sein zum Lieben menemukan fondasi teologisnya yang paling kukuh. Rasul Yohanes mewartakan, “Allah adalah kasih” (1 Yohanes 4:8), yang berarti arah menuju cinta bukanlah sekadar potensi manusiawi, melainkan sebuah panggilan khusus yang berakar pada relasi dengan Allah sendiri. Ini membedakan cinta Kristiani dari sekadar afeksi humanistik: ia bersumber dari Allah, bersifat partisipatif, dan mengarah pada kekudusan. Sein zum Lieben menegaskan bahwa manusia diciptakan untuk mencinta karena ia berasal dari dan menuju kepada Allah. Implikasinya radikal: dasar eksistensi manusia yang sejati bukanlah kefanaan, melainkan Allah sendiri yang adalah Kasih. Dengan pemahaman ini, pelayanan hamba Tuhan dan setiap tindakan kasih sehari-hari bukan lagi sekadar ekspresi emosional atau tuntutan profesi, melainkan sebuah partisipasi ontologis dalam hakikat Allah sendiri.
Implikasinya radikal: dasar realitas dan eksistensi manusia yang sejati bukanlah kefanaan yang menanti di ujung hidup, melainkan Allah sendiri yang adalah Kasih. Dengan pemahaman ini, pelayanan hamba Tuhan, pengabdian umat, dan setiap tindakan kasih sehari-hari bukan lagi sekadar ekspresi emosional, tuntutan profesi, atau mata pencaharian, melainkan sebuah partisipasi ontologis dalam hakikat Allah sendiri. Dalam cinta, manusia menghidupi eksistensinya secara penuh, autentik, dan kudus, karena di sanalah ia menemukan makna terdalam keberadaannya: ada menuju cinta, ada menuju Allah.
Tantangan di Jalan Menuju Cinta
Pemahaman ini menempatkan pelayanan sebagai partisipasi ontologis, mengambil bagian dalam hakikat keberadaan Allah. Namun, jalan menuju partisipasi ini sering kali tidak mudah, karena niat yang lahir dari kasih harus berhadapan dengan realitas yang menggoyahkan. Untuk memahami paradoks ini, kita dapat melihat dua godaan utama yang mereduksi eksistensi manusia: pertama, ketika hidup direduksi pada logika kepemilikan; kedua, ketika hidup direduksi pada logika insting Salah satu godaan paling subtil dan berkuasa adalah ketika uang mengambil alih pusat orientasi hidup. Kitab Suci mengingatkan dengan jernih bahwa “akar segala kejahatan ialah cinta uang” (1 Timotius 6:10).
Uang, yang seharusnya menjadi sarana kehidupan, sering kali bergeser menjadi tujuan itu sendiri, suatu berhala yang memperbudak hati. Penegasan Guru Agung kita Yesus Kristus begitu lugas, “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Matius 6:24). Saat logika ekonomi menggantikan logika kasih, cara pandang hidup pun berubah: segala sesuatu ditimbang berdasarkan untung dan rugi. Hati tidak lagi terbuka bagi relasi yang memperkaya, melainkan terkunci dalam lingkaran kepemilikan. Pertanyaan retoris Yesus menjadi pengingat yang tajam, “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?” (Markus 8:36). Ini bukan penolakan terhadap peran uang, melainkan sebuah ajakan untuk jujur melihat betapa banyak pelayanan yang tersandung justru dalam perkara keuangan.
Setelah harta berusaha merebut pusat hidup manusia, kini tubuh pun menuntut takhta yang sama. Jika uang memenjarakan hati dalam kepemilikan, maka nafsu jasmani menundukkan manusia dalam kenikmatan sesaat. Tantangan lain hadir ketika, dalam ungkapan lugas Rasul Paulus, “Tuhan mereka ialah perut mereka” (Filipi 3:19). Ungkapan ini tidak hanya menunjuk pada kerakusan harfiah, melainkan pada cara hidup yang tereduksi pada pemenuhan naluri kedagingan. Ketika nafsu jasmani memegang kendali, martabat luhur manusia direduksi sebatas pemenuhan biologis. Namun, sabda Tuhan mengingatkan, “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Matius 4:4). Manusia dipanggil memasuki horizon rohani yang lebih luas, sebab “Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (Roma 14:17). Nafsu yang tak terkendali membuat manusia buta terhadap panggilannya yang lebih tinggi: menghidupi cinta dalam relasi dengan Allah dan sesama.
Rangkaian godaan ini menegaskan bahwa Sein zum Lieben bukanlah sebuah kondisi statis yang tercapai sekali untuk selamanya. Ia adalah sebuah perjalanan dinamis yang menuntut perjuangan rohani, disiplin batin, dan penghayatan iman yang autentik. Jalan cinta senantiasa bersaing dengan berbagai jalan pintas yang tampak lebih mudah: jalan uang, jalan insting, jalan hedonisme, dan jalan kuasa. Namun, justru di tengah tarik-menarik inilah iman Kristiani menuntun kita kembali menatap Kristus, Sang Kasih yang terlebih dahulu mengasihi kita (1 Yohanes 4:19). Di dalam Dia, kita belajar bahwa cinta bukanlah sekadar perasaan sentimental, melainkan sebuah panggilan ontologis yang mengarahkan seluruh keberadaan kita menuju makna sejati.
Sein zum Lieben di tengah Godaan
Dalam menghadapi berbagai tantangan ini, konsep Sein zum Lieben justru menemukan relevansi eksistensialnya yang terdalam. Ia bukanlah idealisme naif, melainkan horizon makna yang terus-menerus diuji dalam kenyataan. Keunikannya terletak di sini: ia menyadarkan kita bahwa keberadaan kita sebagai hamba Tuhan tidak pernah netral. Kita senantiasa berada dalam ketegangan dinamis antara keterbukaan menuju cinta dan tarikan menuju kuasa, harta, serta insting yang membelenggu.
Jika Sein zum Tode menyadarkan manusia akan batasnya, Sein zum Lieben membukakan horizon untuk melampaui batas itu melalui relasi. Ketika seorang hamba Tuhan menyadari bahwa ia diciptakan untuk mencintai, maka uang tidak lagi menjadi tuan, melainkan sarana pelayanan. Perut tidak lagi menjadi pusat, melainkan bagian dari ciptaan yang ditaklukkan di bawah hukum kasih. Dalam horizon cinta, segala godaan ditempatkan kembali pada proporsinya, karena makna hidup sejati tidak diukur dari apa yang dimiliki atau dinikmati, melainkan dari keterhubungan yang mengalir dari dan menuju Allah.
Kitab Suci menegaskan bahwa kasih adalah “jalan yang paling utama” (1 Korintus 13:13). Dengan demikian, Sein zum Lieben adalah sebuah refleksi filosofis sekaligus panggilan teologis yang selaras dengan jantung Injil. Allah adalah kasih, dan manusia yang diciptakan menurut gambar-Nya menemukan keutuhan dirinya hanya ketika ia hidup dalam kasih itu. Tanpa kasih, eksistensi manusia kehilangan arah. Dengan kasih, keberadaannya menemukan keautentikan dan kekudusannya.
Di tengah dunia yang sarat godaan, Sein zum Lieben mengingatkan bahwa pelayanan bukanlah sekadar aktivitas religius atau profesi, melainkan sebuah partisipasi dalam kehidupan Allah sendiri. Dalam praksis pelayanan, Sein zum Lieben dapat menjadi kompas etis yang membimbing hamba Tuhan dalam pengambilan keputusan dan pembentukan relasi. Misalnya, ketika seorang pelayan gereja dihadapkan pada dilema antara efisiensi program dan kebutuhan pastoral jemaat, kesadaran akan panggilan menuju cinta menuntunnya untuk memilih pendekatan yang memuliakan martabat manusia, bukan sekadar hasil statistik.
Dalam konteks pendidikan Kristiani, guru yang menghayati Sein zum Lieben tidak hanya mentransfer pengetahuan, melainkan membentuk karakter melalui relasi yang penuh kasih dan penghargaan. Bahkan dalam pengelolaan keuangan lembaga, prinsip ini menuntun agar setiap keputusan anggaran mencerminkan nilai-nilai kasih, keadilan, dan pelayanan, bukan sekadar keuntungan institusional. Dengan demikian, Sein zum Lieben menjadi prinsip yang menginkarnasi diri dalam tindakan konkret, bukan hanya gagasan abstrak.
Akhirnya, di sanalah letak kekuatan eksistensial iman Kristiani: bahwa hidup yang rapuh dapat ditopang oleh kasih yang abadi, dan keberadaan yang fana dapat dipenuhi oleh makna yang melampaui kematian itu sendiri. Cinta membentuk spiral eksistensial: dari diri menuju yang lain, meluas ke semesta, lalu kembali pada Sang Sumber. Aku ada karena aku mencintai Allah dan sesama—dari situlah manusia kembali menemukan asal dan tujuannya.
Pastikan Anda tidak ketinggalan artikel terbaru kami lainnya!
Klik untuk DAFTAR
