Saya takut saya bukan lagi saya yang dulu. Saya khawatir, seorang pria yang berapi-api saat menerima Kristus bertahun-tahun silam telah padam semangatnya. Dan saya curiga, ini telah menjadi persoalan banyak “laskar Kristus” yang dihujani begitu banyak persoalan, baik dalam keluarga, maupun dalam pelayanannya.

Sebagai pendeta, kita menghadapi persoalan yang hampir sama, setiap hari. Ada jemaat yang keras kepala mengulangi kesalahannya, bertahan dalam keangkuhannya, lalu menuntut pelayan Tuhan datang menjilat sepatunya sebagai tanda ia dicintai oleh gereja. Beberapa jemaat menderita penyakit mematikan lalu mulai mengutuki Tuhan, dan akhirnya menuntut mukjizat dari seorang hamba Tuhan yang sangat percaya bahwa Allah bisa bekerja melalui berbagai macam cara, bukan hanya melalui mukjizat. Jemaat yang lain bahkan sering menuntut kita menjadi orang lain dengan kalimat pamungkasnya, “Saya lebih suka Pendeta yang sebelumnya”. Kemudian setelah dihujam dengan tuntutan yang menyesakkan dada dari para anggota jemaat yang tercinta, sang hamba Tuhan pulang ke rumahnya dan mendapati antrian masalah selanjutnya, masalah finansial istri dan anak.

Mungkin bentuk nyata permasalahan kita, para pelayan, tidak selalu sama. Tetapi, sama seperti nasi goreng dan nasi kuning tetaplah nasi, masalah apa pun tetap saja masalah, dan selalu saja sekecil apa pun itu, akan memberi dampak kepada kita. Beberapa dari kita sudah lelah. Sekali lagi, saya benar-benar takut, kita bukan lagi kita yang dulu.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Tentu saja dalam pengertian khusus, ini bukanlah pekerjaan yang mudah, yang mana sebuah tulisan singkat seperti ini harus memberikan semacam nasihat dan dorongan pada Anda yang biasanya menjadi tempat orang-orang mencari penyelesaian atas masalah mereka. Mungkin sebagian dari Anda, sudah menghafal di luar kepala, mana saja ayat Kitab Suci yang cocok menjadi penyemangat. Itu sebabnya saya mau mengajak kita mundur sejenak, turut merasakan, dan memahami apa yang dialami oleh seorang pria Vietnam bernama Hien.

Setelah Vietnam jatuh, Hien ditangkap oleh kelompok komunis dan dipenjarakan karena dituduh bekerja sama dengan CIA pada saat ia bekerja dengan para misionaris Kristen. Selama ia dipenjarakan, mereka melarangnya menggunakan bahasa Inggris bahkan mengambil Alkitab yang dimilikinya. Hien hanya diperbolehkan menggunakan bahasa Vietnam dan Perancis. Dalam masa-masa yang sulit itu, ia terus mendengarkan kalimat dari orang-orang di sana, “Tuhan tidak ada.” Dan dengan keadaan yang terlihat tidak membaik itu, Hien akhirnya mulai mempertanyakan hal yang sama, “Mungkinkah mereka benar? Mungkin Tuhan memang tidak ada.”

Pada suatu malam, ketika ia menuju ke ranjangnya, Hien bergumam, “Aku sudah selesai dengan Tuhan. Kalau aku bangun pagi nanti, tidak ada lagi Tuhan. Tidak ada lagi doa.”

Pagi-pagi benar Hien diberi tugas perwira komandan penjara untuk membersihkan kakus yang penuh dengan kotoran manusia, sesuatu yang sangat tidak enak untuk didengar, apalagi dilakukan. Tetapi di tempat itulah ia harus menghabiskan seluruh harinya, dan sebagai tugas penutup ia juga harus mengosongkan tempat sampah yang terisi dengan kertas toilet kotor. Sambil mengerjakan tugas yang tidak biasa itu, Hien terus mengingatkan dirinya, “Tidak ada Tuhan hari ini.”

Namun, menjelang selesai bekerja, mata Hien tidak sengaja tertuju pada secarik kertas dengan huruf-huruf cetak pada tempat sampah terakhir. Tulisannya tertulis dalam bahasa Inggris, bahasa yang dirindukannya. Ia lalu membersihkan kertas itu dan memasukannya ke dalam saku, lalu berencana membacanya setelah semuanya tidur. Betapa terkejutnya Hien pada saat melihat di pojok kanan atas kertas itu tertulis, “Roma 8 Alkitab.”

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah… Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?… Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?… Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. (Roma 8:28-38)

Hien mulai menangis. Dari semua ayat Alkitab yang dia tahu, inilah yang paling perlu didengarnya. Sekarang semuanya telah kembali padanya. “Tuhan, Engkau tidak membiarkan aku berada di luar jangkauan-Mu sehari saja,” katanya. Ia kembali ke tempat tidurnya dan berdoa. Keesokan paginya Hien meminta pekerjaan yang sama pada perwira komandan, membersihkan kakus. Belakangan Hien tahu bahwa sobekan-sobekan Alkitab yang ia temukan ternyata digunakan sebagai kertas toilet oleh perwira komandan itu. Hien berhasil mengumpulkan banyak bagian dari kitab Roma dan kitab-kitab lain dari Alkitab.

Saya rasa kita adalah Hien. Kita harus mengumpulkan sobekan demi sobekan, potongan demi potongan, ingatan demi ingatan, kebersamaan kita dengan Allah. Ingat kembali momen ketika kita menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi kita. Kumpulkan kembali semua pengajaran yang telah kita teriakkan di telinga jemaat pada saat kita berkhotbah tentang bertekun dalam ujian dan tantangan. Pandang kembali pada Salib Kristus yang telah membakar hati kita dengan Injil kasih karunia-Nya. Kasih karunia yang telah membuat kita melangkah ke depan dengan yakin dan memberi diri untuk ditahbiskan sebagai “pejuang Kristus”.

Saya rasa kita adalah Hien, yang kepadanya Allah mengirimkan sebuah surat pengingat, bahwa di masa paling suram, di momen yang paling tidak dimengerti, dan di tempat yang paling memilukan, Dia sedang bekerja. Saya yakin saya tidak perlu memberi eksposisi Roma 8 bagi Anda. Karena anda mungkin bisa melakukannya dengan lebih baik dari saya. Tapi saya sangat berharap, tulisan pendek ini menjadi surat yang Yesus kirim untuk Anda. Surat pengingat untuk membuat Anda mengangkat kepala, menghapus air mata, berbicara hati ke hati dengan Allah yang telah memanggil Anda untuk misi “menjungkirbalikkan dunia” dengan kasih Kristus.

Sama seperti Tuhan mengatakan kepada Ananias, tentang tugas berat yang akan dipikul Paulus dalam pelayanannya, kita juga pasti tahu akan “mengalaminya.” Lalu apa yang membuat Anda tetap mengambil tanggung jawab dan risiko ini? Ingatlah komitmen kita dulu!

 

Fandri Entiman Nae

Kotamobagu, Sulawesi Utara