“Masa kejayaan khotbah sudah berakhir,” demikian suara lirih itu menyeruak di Barat. Apa yang membuat masa kejayaan pewartaan sabda itu meredup? Pertama, karena khotbah sekarang dicap sebagai seni komunikasi yang sekarat. Kedua, khotbah adalah bentuk komunikasi yang sudah ketinggalan zaman, yang dalam waktu dekat ini akan mati dan dikubur. Suara-suara semacam ini disorot oleh John Stott dalam Biblical Preaching: A Pastor’s Look at Homiletics. The Argument against Preaching I: The Cybernetic Revolution.
Stott tidak sepakat dengan anggapan negatif terhadap khotbah di atas. Meski perlu diakui, di sana-sini memang jamak terdengar keluhan umat terhadap khotbah-khotbah yang mereka dengar, bahkan membuat mereka tidak nyaman ikut ibadah di gereja. Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari gejala ini menurut Carey Nieuwhof:
- Khotbah tidak jelas: Tidak ada yang mengingat “khotbah yang membingungkan,” ujar Nieuwhof. Umat hanya mengingat khotbah yang jelas. Jika pengkhotbah tidak jelas, jemaatnya pun tidak akan jelas.
- Khotbah tidak memuat pesan yang penting: Terlalu sering para pengkhotbah memberi tahu umat apa yang harus dilakukan, tetapi “lupa” memberi tahu mereka alasan mengapa hal itu penting. Itulah sebabnya orang tidak melakukan apa-apa.
- Khotbah tidak memberi pesan praktis untuk dilakukan: Jika pengkhotbah lupa memberi umat petunjuk praktis atau sesuatu yang nyata untuk dilakukan, pesan khotbah akan hilang dengan cepat.
Keadaan ini terjadi tepat di era revolusi sibernetika yang terus bergulir di zaman kita.
Era Revolusi Sibernetika
Awalnya, istilah “Cybernetics” atau sibernetika berasal dari kata Yunani kuno “kybernetikos” (ahli mengemudi) atau seni juru mudi kuda atau kereta kuda, di mana sang kusir perlu sebaik mungkin mengendalikan dan “mengomunikasikan” navigasinya kepada kuda yang dikendalikannya. “Kontrol” dan “Komunikasi” menjadi kata kunci di sini.
Dr. Stott menyederhanakan bahwa revolusi sibernetik adalah “mekanisme komunikasi,” baik di otak manusia maupun komputer (Cybernetics is a pop word for the study of mechanisms of communication, both in the human brain and in the electronic brain. Or, if you prefer, in men and in computers). Atau, “Secara lebih sederhana, sibernetika adalah ilmu tentang “sarana komunikasi” atau “media komunikasi” (More simply, cybernetics is the science of communication means, or the media of communication).
Jadi, revolusi sibernetika merujuk pada “perubahan radikal dalam komunikasi yang dipicu oleh perkembangan peralatan elektronik dalam generasi kita. Dampak revolusi sibernetika secara tak terelakkan menyelinap ke dalam gaya hidup masyarakat. Revolusi ini menyelimuti banyak aspek kehidupan manusia, secara khusus kemajuan pesat dalam teknologi informasi, komunikasi, kesehatan, transportasi, otomatisasi, tenaga kerja, sistem sosial, isu etika, privasi, pendidikan dan pembelajaran, globalisasi, hingga ke bentuk baru interaksi sosial (lahirnya media sosial dan komunitas daring merupakan konsekuensi langsung dari revolusi sibernetika).
Bagi Dr. Stott, dalam era revolusi sibernetika ini, dunia telah secara radikal mengubah metode komunikasinya dan khotbah Kristiani tidak lagi berkomunikasi dengan masyarakat yang berbasis gambar (di Barat). “Khotbah Kristen berhadapan dengan budaya anti otoritas. Meskipun semua zaman telah memberontak terhadap otoritas, tapi zaman kini tampaknya berhasil mengalahkan semua zaman lainnya,” kata teolog asal Inggris itu.
Revolusi sibernetika sejalan dengan fenomena terkini yang disebut Nathan Creitz sebagai A Media-Saturated Problem (Masalah Kejenuhan Media). Manusia menjadi “penat” oleh media. Terlalu banyak tawaran informasi dari beragam media yang tersedia. Mungkin ini pula alasan, saya kira, yang membuat film-film Hollywood menemukan formula matematika yang memungkinkan mereka menyesuaikan efek pengambilan gambar dengan rentang perhatian penontonnya. (https://phys.org/news/2010-02-hollywood-movies-mathematical-formula.html)
Banyaknya tawaran media di era revolusi sibernetika seperti ini, terang John Stott dalam buku Between Two Worlds, membuat umat menjadi:
- Malas secara fisik (physically lazy)
- Tidak kritis secara intelektual (intellectually uncritical)
- Tidak peka secara emosional (emotionally insensitive)
- Bingung secara psikologis (psychologically confused)
- Rusak secara moral (and morally disordered)
Di Antara Dua Dunia
Dalam situasi seperti ini, Dr. Stott merasa perlu mengangkat isu revolusi sibernetika yang merambah bidang komunikasi itu karena “kekristenan adalah agama komunikasi.” Artinya, aktivitas berkomunikasi merupakan pusat kegerakan iman Kristiani, karena “Allah telah berkomunikasi dengan umat manusia. Dia telah bersabda dan mengundang kita mengomunikasikan kepada orang lain apa yang telah Dia komunikasikan kepada kita” (Biblical Preaching, 5–6).
Pengkhotbah Kristiani adalah orang yang hidup di dua dunia, sehingga praktik seni homiletika atau berkhotbah adalah sebuah pelayanan membangun jembatan. Tugas pengkhotbah tidak kurang dari menjembatani dua dunia, yaitu “dunia sabda Tuhan” dan “dunia manusia.” Pengkhotbah berada di antara dua dunia ini dan ia tidak boleh mengabaikan salah satunya, ujar John Stott.
Ada kerumitan kehidupan kontemporer yang perlu mendapat jawabannya dari khotbah Alkitabiah. Menabur firman Tuhan ke dalam hati manusia membutuhkan “konten” Alkitabiah yang bisa menjawab situasi umat, di sini dan sekarang. Untuk itu, selain mempelajari Kitab Suci, Dr. Stott mengajak para pengkhotbah mempelajari karya atau buku sekuler juga, agar dapat memahami pikiran orang-orang di dunia dengan lebih baik. Ini penting bagi persiapan khotbah yang sebenarnya, menurut tokoh Injili terkemuka itu.
Persiapan khotbah perlu diawali dengan: proses pemilihan teks, interpretasi yang ketat, mempertimbangkan tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, mencari ilustrasi yang sesuai, serta memikirkan aplikasi yang tepat untuk ditawarkan kepada jemaah. Meski di awal tadi disinggung ada yang menganggap era keemasan khotbah sudah berakhir, tapi secara empiris tidak demikian.
Survei opini Pew Research terhadap 6.364 orang dewasa di Amerika Serikat (2019) menemukan bahwa 90% orang Kristen merasa puas dengan khotbah yang mereka dengar. Jadi, mayoritas umat, setidaknya di AS, masih menikmati khotbah-khotbah yang mereka dengar di gereja. Semoga di Indonesia menemukan hasil survei yang baik pula, bahkan lebih baik. Semoga.
Khotbah Masih Dibutuhkan
Meski dunia berubah, terutama dalam aspek sibernetika, tapi khotbah masih dibutuhkan dan didengarkan oleh umat. Ini menguatkan tesis Dr. Stott dalam Biblical Preaching yang menyatakan, “Khotbah sebagai bentuk komunikasi yang terbaik secara permanen” (Preaching is a permanently valid form of communication). Pewartaan sabda dalam bentuk khotbah tetap merupakan cara yang paling baik dalam menyampaikan firman Allah kepada umat.
Ia mengutip Martyn Lloyd-Jones, “Berkhotbah adalah pekerjaan yang teragung, terhebat, panggilan termulia yang dapat dilakukan oleh seseorang” (The work of preaching is the highest, the greatest, the most glorious calling to which anyone can ever be called). “Khotbah adalah tugas utama gereja dan para pemimpin gereja,” seru Stott. “Kebutuhan yang paling mendesak di dalam gereja saat ini adalah khotbah yang benar,” imbuhnya. (I would say that, without any hesitation, the most urgent need in the Christian church today is true preaching).
“Tidak ada yang sebanding dengan perasaan menaiki tangga mimbar dengan homili yang baru pada hari Minggu, terutama ketika merasa memiliki pesan dari Tuhan dan kerinduan menyampaikannya kepada umat,” seru Dr. Stott. Di sisi lain, secara historis, meski seni homiletika mengintegrasikan pengajaran Alkitab dan retorika (seni berbicara secara persuasif untuk memengaruhi audiens), tapi Karl Barth menegaskan bahwa homili atau khotbah memiliki tujuan yang berbeda dengan retorika.
Khotbah tidak bergantung pada gaya bahasa atau persuasi, sehingga seni homiletika dan retorika harus dipisahkan. Karl Barth bukan yang pertama menolak integrasi ini. Sejak era Yunani Klasik, ada pula pembedaan semacam ini, yaitu antara sofis dan filsuf. Pada era itu ada pertentangan antara “retorika” dan “dialektika” kata lain untuk permusuhan antara “sofisme” dan “filsafat”. Bila dialektika/filsafat mencari kebenaran, maka retorika/sofisme melandaskan diri pada “penampakan luar saja” (karena mementingkan efektivitas meyakinkan orang). Jika ditarik ke ranah homiletika, maka khotbah adalah usaha menyampaikan kebenaran, sementara sofisme sekadar usaha meyakinkan orang, dengan pengetahuan sofis yang dangkal.
Paulus menggambarkan khotbahnya “tidak disampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh” (1 Korintus 2:4). Banyak yang menganggap ini sebagai metode Paulus dalam mewartakan sabda secara sederhana dan tidak beretorika. Dari sini dapat kita simak, tentu khotbah adalah tindakan mewartakan sabda dengan kekuatan Roh, tetapi di saat yang sama ada poin-poin ekselen dalam retorika yang dapat digunakan: etos (etika), patos (gairah), logos (pengetahuan akan kebenaran).
Beberapa Tawaran sebagai Penutup
Khotbah di era revolusi sibernetika memang memiliki tantangan tersendiri, dan pengkhotbah Kristiani perlu tetap berusaha mewartakan sabda dengan sebaik mungkin dan jelas. Berikut tips umum yang sudah banyak diketahui, tapi mungkin sekaligus sering dilupakan para pengkhotbah:
- Mempertahankan mengawali menit-menit pertama khotbah secara jelas dan tidak bertele-tele. Naik ke mimbar perlu persiapan yang matang. Ketika sudah di mimbar, sebaiknya menghindari melakukan kegiatan yang “membuang-buang waktu” seperti melepas jam tangan, minum air putih (lakukan semua hal tersebut sebelum kita melangkah ke tempat duduk atau jangan lakukan sama sekali).
- Tidak berkomentar yang merendahkan diri sendiri, seperti mengatakan bahwa kita bukanlah pengkhotbah yang hebat atau tidak sebagus orang lain. Hal ini tidak hanya kontraproduktif dengan tujuan dan panggilan kita dalam berkhotbah, tetapi juga hampir pasti berasal dari rasa tidak aman yang berharap untuk ditenangkan. Pula, tidak perlu merendahkan umat atau audiens. Ada orang yang bisa akan segera menarik diri jika mereka tersinggung. Jendela hati mereka akan tertutup.
- Jika bisa, tulis dan hafalkan atau hampir hafalkan paragraf pembuka khotbah kita. Kata-kata pertama pengkhotbah sangatlah penting, jadi kita diajak menyusun dan memahaminya dengan baik agar kita “dapat hadir” dan mengajak audiens memperhatikan khotbah kita. Dan, yang tak kalah penting, tersenyumlah. 😊
- Memulai berkhotbah sesegera mungkin, dengan pertanyaan yang bijaksana, sesuatu yang menarik, atau pertanyaan unik. Semua hal yang kita lakukan pada menit-menit pertama akan berkontribusi pada kelancaran penyampaian firman Tuhan yang kita lakukan.
Revolusi Sibernetika adalah fenomena yang tak dapat dihindari. Namun, seperti anjuran yang baik dari John Stott, sabda Tuhan adalah prinsip hidup manusia yang dapat dan harus selalu diwartakan. Kita diundang menyampaikan sabda dengan kesungguhan, keberanian, persiapan, dan terus belajar. Selamat berkhotbah!
Pastikan Anda tidak ketinggalan artikel terbaru kami lainnya!
Klik untuk DAFTAR