Kecanduan dalam Masyarakat Modern

APAKAH ANDA KETAGIHAN pada smartphone atau laptop? Apakah Anda sering memeriksa ponsel untuk membaca pesan, bahkan ketika sedang berlibur atau makan malam bersama keluarga?

Dalam sebuah eksperimen pada awal abad ke-20, seorang psikiater Jepang mengisolasi sejumlah pasien dari kehidupan normal dan dari orang lain. Mereka ditempatkan dalam ruang tertutup selama tujuh hari, tanpa buku, surat kabar, atau perangkat komunikasi. Setelah beberapa hari, para pasien sangat mendambakan berbagai hal—bahan bacaan, pergaulan, makanan tertentu, dan sebagainya. Pengisolasian itu menyingkapkan kecanduan mereka masing-masing dan membuat mereka menyadari pengaruh yang menggerakkan hidup ini—beberapa di antaranya bersifat merusak dan memperbudak.

Mereka dikelilingi oleh berbagai hal, gaya hidup, dan pola perilaku yang dapat dengan mudah membuat orang menjadi kecanduan.

Namun, dewasa ini banyak orang yang hidup tanpa menyadari pengaruh yang memperbudak mereka. Mereka dikelilingi oleh berbagai hal, gaya hidup, dan pola perilaku yang dengan mudah bisa menyebabkan kecanduan. Beberapa di antaranya jelas sangat berbahaya—alkohol dan obat-obatan, judi dan pornografi, nafsu makan yang tak terkendali, atau kebiasaan apa pun yang dapat mengancam hal-hal penting seperti keluarga, kesehatan, atau hubungan dengan Allah. Alkitab berkata, “Kalau orang dikalahkan oleh sesuatu, maka ia hamba dari yang mengalahkannya itu” (2 Petrus. 2:19 BIS).

Dalam bukunya The Three Edwards, novelis sejarah Thomas Costain menceritakan kehidupan Raynald III, seorang adipati pada abad ke-14 di suatu kerajaan yang sekarang menjadi negara Belgia. Raynald yang sangat gemuk sering dipanggil dengan julukannya dalam bahasa Latin, Crassus, yang berarti “gemuk”. Setelah suatu pertengkaran hebat, adik Raynald yang bernama Edward memimpin pemberontakan yang akhirnya berhasil menumbangkan Raynald. Edward menangkap Raynald, tetapi tidak membunuhnya. Ia membangun kamar untuk mengurung Raynald di dalam puri Nieuwkerk dan menjanjikan bahwa Raynald dapat menerima kembali jabatan dan seluruh miliknya kalau ia bisa keluar dari sana. Bagi kebanyakan orang, itu bukan hal yang sulit karena kamar tersebut mempunyai sejumlah jendela dan pintu berukuran sedang dan semuanya terbuka.

Yang menjadi masalah adalah ukuran badannya. Untuk meraih kebebasan, Raynald yang terlalu gemuk itu perlu mengurangi berat badan. Namun, Edward tahu benar sifat kakaknya, maka ia mengirimkan aneka makanan lezat setiap hari. Alih-alih mengurangi berat badan agar dapat bebas, Raynald justru menjadi makin gemuk. Saat Edward dituduh bertindak kejam, ia bisa menjawab: “Kakakku bukan tahanan. Ia boleh keluar ruangannya kapan saja ia mau.” Raynald tinggal di kamar itu selama sepuluh tahun dan baru dibebaskan setelah Edward gugur dalam suatu pertempuran. Namun, saat itu, kesehatannya sudah sedemikian buruk dan ia pun wafat setahun kemudian. Ia disandera oleh nafsu makannya sendiri.

Banyak orang disandera oleh keinginannya sendiri, entah itu nafsu, keserakahan, kerakusan, atau sesuatu yang lain.

Seperti Raynald, banyak orang disandera oleh keinginannya sendiri, entah itu nafsu, keserakahan, kerakusan, atau yang lain. Raynald bisa saja meraih kebebasan jika ia menahan nafsu makannya. Namun, nafsunya begitu menguasai dan ia tidak mampu mengendalikan diri sendiri.

Aspek Rohani dari Kecanduan

SEBAGAI MAKHLUK ROHANI, apapun yang kita alami akan menyentuh aspek rohani kita. Demikian juga kecanduan.

Kita hidup di dunia yang abnormal, di mana kita mengalami akibat dari kejatuhan manusia dalam dosa, yaitu pelanggaran Adam dan Hawa. Mereka ditempatkan Allah di taman yang indah dan lengkap, tetapi memilih untuk memakan buah yang dilarang Allah (Kejadian 3). Mereka diberi kebebasan untuk memilih yang baik, tetapi menyalahgunakan kebebasan tersebut untuk memilih yang jahat.

Akibatnya, kita sekarang menderita dalam “perbudakan kebinasaan” (Roma 8:20-21), seperti kata Alkitab, “Seluruh umat manusia berada di bawah kekuasaan dosa” (Galatia 3:22 BIS). Rasa terbelenggu oleh pemberontakan terhadap Allah dan oleh nafsu yang melenceng itu terjadi dalam berbagai aspek hidup kita—dalam diri sendiri, keluarga, tempat kerja, juga masyarakat.

Kita diciptakan dengan kehampaan jiwa yang hanya bisa dipenuhi dan dipuaskan oleh Allah. Sebelum kita menemukan Allah sebagai satu-satunya yang dapat memuaskan kehausan dan kebutuhan kita yang terdalam, kita cenderung mencari apa saja untuk menggantikan-Nya. Segala sesuatu yang kita tempatkan sebagai pengganti Allah dapat menyiksa, memperbudak, dan menghancurkan hidup kita.

Pengalaman dan Belenggu Dosa

ALKITAB MENCATAT PERKATAAN PAULUS, seseorang yang menyadari betul ketidak-berdayaan rohaninya dan dahsyatnya pengaruh dosa dalam diri. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, dengan pedih ia menjelaskan keadaannya yang menyedihkan:

“. . . bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci . . . Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku” (Roma 7:15, 18-20).

Selanjutnya Paulus meratap:

“Jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku. Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” (Roma 7:21-24).

Begitulah orang yang tidak lagi menikmati kebiasaan berdosa, tetapi sadar bahwa ia telah diperbudak oleh kebiasaan itu. Ia berseru minta tolong dan ingin lepas dari perbudakannya.

Keadaannya seperti seseorang yang digambarkan di bagian lain dalam Alkitab: “Anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya” (2 Petrus 2:22). Tak heran Paulus berseru: “Aku, manusia celaka!”

Namun, Paulus mengakui ketidakberdayaannya—itulah awal dari proses pemulihan—dan menemukan jawaban atas pertanyaannya mengenai siapa yang akan melepaskannya. Paulus berkata, “Syukur kepada Allah! Oleh Yesus Kristus, Tuhan kita” (Roma 7:25).

Jawaban atas masalah kebiasaan kita yang berdosa, termasuk perilaku kecanduan, tidak akan ditemukan dalam diri kita. Kita sama sekali tidak berdaya mengatasi dosa dan kecanduan dengan kekuatan kita sendiri; kita membutuhkan pertolongan Allah.

Simak lebih dalam topik kecanduan ini, untuk membaca:
artikel selanjutnya, klik Terbebas Dari Kecanduan – Seri 3
artikel sebelumnya, klik Terbebas Dari Kecanduan – Seri 1

Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang materi-materi lainnya, silakan mendaftar: