Dalam hidup pelayanannya, tiap rohaniwan mungkin pernah bersentuhan dengan kenyataan pahit: ekspektasi yang tidak kesampaian, pelayanan yang “berjalan di tempat,” jemaat yang makin berkurang, kerja keras yang terasa sia-sia, doa-doa yang hanya bergema dalam hening. Di balik semangat pewartaan sabda dan doa yang berapi-api, tersembunyi pergumulan yang dalam: pergulatan tentang makna sukses dan gagal dalam karya pelayanan di ladang Tuhan.
Apakah kegagalan dalam pelayanan berarti kekalahan di mata Allah? Apakah doa yang tak terjawab adalah tanda dari kemurkaan ilahi? Ataukah, justru dalam kegagalan itu tersembunyi benih kemenangan yang lebih murni, kemenangan yang tidak diukur dengan standar dunia, tetapi dengan ukuran salib?
Salib Kristus memang paradoks abadi: lambang kehinaan sekaligus kemuliaan, kematian sekaligus kehidupan. Bisa jadi, dalam kehancuran rencana kita, tersembunyi panggilan kepada rencana Allah yang lebih dalam. Mari pikirkan kemungkinan ini, bahwa dalam air mata pelayanan, terdapat rahasia kemenangan yang mungkin diremehkan dunia, tetapi berharga di hadapan Tuhan.
Untuk memahami rahasia ini, mari melihat sebuah jalan teologi kuno yang senantiasa relevan hingga zaman kita sekarang ini. Ia adalah jalan yang dibangun di atas salib, alih-alih kemegahan: Theologia Crucis, teologi salib.
Apa itu Theologia Crucis?
Theologia Crucis atau teologi salib dihidupkan kembali oleh Martin Luther dalam Disputasi Heidelberg tahun 1518. Berbeda dengan Theologia Gloriae (teologi kemuliaan) yang mencari Allah dalam kesuksesan, kekuatan, dan kejayaan, Theologia Crucis justru mengajarkan bahwa Allah memilih menyatakan Diri-Nya dalam kelemahan: penderitaan, kehinaan, dan kematian di kayu salib. Luther mengungkapkan, seorang teolog Theologia Gloriae menyebut yang jahat itu baik dan yang baik itu jahat. Seorang teolog salib menyebut sesuatu sebagaimana adanya. Teologi salib mengajarkan keberanian melihat kenyataan sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang diinginkan manusia.
Bagi para penganut Theologia Gloriae, Allah harus ditemui dalam gemerlap kemenangan: gereja yang penuh anggota jemaah, pelayanan yang populer, hidup yang bergelimang keberhasilan. Sebaliknya, Theologia Crucis membalikkan seluruh pemikiran ini. Ia mengungkapkan bahwa Allah pertama-tama dijumpai dalam mahkota duri dan kayu salib yang kasar.
Salib menjadi titik balik pemahaman ini: di mata dunia, salib adalah kekalahan mutlak atau lambang dari kegagalan, kehinaan, dan kematian. Namun, di mata Allah, salib justru adalah kemenangan sempurna atas dosa dan maut. Sebagaimana Paulus menulis dalam 1 Korintus 1:18, “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.” Jalan salib yang tampak hina itulah jalan menuju kemuliaan.
Paradoks ini tidak hanya diungkapkan oleh Paulus dan Luther, tetapi juga ditegaskan kembali oleh Dietrich Bonhoeffer dalam pergumulan abad ke-20. Dalam The Cost of Discipleship, Bonhoeffer menulis, “When Christ calls a man, he bids him come and die.” Ketika Kristus memanggil seseorang, Ia memanggil orang itu untuk ‘mati.’ Artinya, panggilan Kristus adalah undangan menuju kematian nafsu diri, menyangkal ego, merelakan ambisi duniawi, dan berjalan dalam ketaatan, tetapi uniknya di situlah ditemukan kehidupan sejati. Dalam perspektif salib, kematian bukan akhir, melainkan pintu gerbang menuju kebangkitan. Salib, dengan seluruh paradoksnya, menjadi lambang kekuatan Allah yang membalikkan logika dunia: dari kematian lahir kehidupan, dari kehinaan muncul kemuliaan, dari kekalahan muncul kemenangan.
Maka, pelayanan yang berakar dalam Theologia Crucis (teologi salib) menantang kita membalikkan paradigma dunia. Bukan lagi keberhasilan yang diukur dari jumlah pengikut, sorotan publik, atau pencapaian institusional; melainkan dari kesetiaan dalam penderitaan, ketaatan dalam sunyi, dan tetap cinta kepada umat meski tidak populer. Di sanalah pelayanan menemukan jati dirinya: bukan di atas panggung megah, melainkan di tempat tersembunyi yang menyimpan jejak kaki Sang Penebus.
Pelayanan seperti inilah yang meneladani Kristus: sikap yang tidak mencari takhta, tetapi memilih salib; yang tidak mengejar kemasyhuran, tetapi setia sampai mati. Dan, justru dalam jalan yang kelihatannya gagal dan sepi itu, kita diajak menemukan sukacita sejati dari persekutuan dengan Dia yang telah lebih dahulu memikul salib bagi kita.
Pelayanan yang Berakar dalam Theologia Crucis
Jika demikian, apakah artinya bagi hidup dan pelayanan kita hari ini? Jawabannya sederhana, tapi menuntut seluruh keberadaan kita: paradigma kita tentang kesuksesan perlu diubah. Dalam terang Theologia Crucis, sukses pelayanan berganti dari angka dan popularitas menjadi kesetiaan dan ketaatan, bahkan ketika kita dalam penderitaan.
Di dunia pelayanan di mana pertumbuhan jemaah, pengaruh sosial media, dan undangan berbicara di forum-forum besar sering menjadi tolok ukur kejayaan seorang rohaniwan, Theologia Crucis datang sebagai koreksi yang tajam dan menyehatkan. Ia mengajarkan bahwa nilai sejati pelayanan tidak tersembunyi dalam grafik yang meningkat atau riuhnya pujian publik, melainkan dalam kesetiaan sehari-hari yang sering tidak terlihat; dalam doa yang tetap dinaikkan, meski belum ada tanda-tanda perubahan; dalam sabda yang tetap diwartakan, meski hanya sedikit yang mendengarkan; dalam cinta yang konstan kepada jiwa-jiwa, apapun keadaannya.
Sukacita pelayanan sejati bukanlah karena kemenangan yang dapat difoto atau diposting di medsos, melainkan sukacita tersembunyi: yaitu sukacita yang lahir dari kesadaran bahwa Allah memperhitungkan setiap airmata, setiap kelelahan, setiap kekecewaan yang dipersembahkan dengan setia. Kegagalan, dalam perspektif ini, bukanlah akhir. Ia adalah alat pembentukan diri dalam Kristus. Seperti logam yang dimurnikan dalam api, kegagalan membakar ambisi duniawi, mengikis keangkuhan tersembunyi, dan membentuk hati seorang hamba yang lekat kepada Salib, bukan kepada hasil lahiriah.
Tanpa pemahaman yang benar tentang jalan salib, kita mudah terjerumus ke dalam jalan yang bertentangan: Theologia Gloriae. Bahaya teologi kemuliaan ini hadir dengan sangat halus. Tanpa disadari, semangat pelayanan kita bisa mulai dibentuk oleh dorongan mengejar kemegahan, pengaruh, dan pencitraan. Ukuran kesuksesan bergeser dari kesetiaan kepada Kristus kepada seberapa besar pencapaian yang diraih, seberapa luas pengaruh yang dimiliki, dan seberapa mengesankan tampilan yang ditunjukkan.
Singkatnya,Theologia Gloriae menggoda kita untuk mencintai kemuliaan dunia lebih daripada kemuliaan Allah. Tanpa sadar, ukuran keberhasilan pelayanan mulai diukur dengan seberapa besar nama, pengaruh, atau pengakuan yang diraih.
Dalam konteks ini, suara Jürgen Moltmann dalam The Crucified God terdengar seperti peringatan keras. Ia menyatakan, Kristus yang disalibkan bukan sekadar berlawanan dengan manusia yang sukses menurut ukuran dunia, tapi juga tanda berakhirnya manusia yang sukses di luar salib (The crucified Christ is not only the opposite of the successful man; he represents his end).
Bagi Moltmann, Kristus yang tergantung di salib benar-benar menghakimi seluruh sistem nilai yang mengagungkan kekuatan, kemenangan, dan kesuksesan duniawi. Salib menyingkapkan kebohongan kemuliaan yang dibangun di atas ambisi manusia, dan memanggil kita hidup setia dalam jalan kerendahan, penderitaan, dan pengorbanan. Memang sebuah jalan yang di mata dunia tampak seperti kegagalan, tapi di mata Allah adalah kemenangan sejati.
Namun realitasnya, godaan untuk kembali kepada ukuran-ukuran dunia tidak pernah benar-benar lenyap. Ia merayap perlahan, bahkan di tengah pelayanan yang kelihatan rohani: berapa jumlah anggota jemaah hari ini? Berapa banyak likes dalam unggahan media sosial gereja? Berapa banyak respons atas akun medsos pribadi kita sebagai hamba Tuhan? Berapa banyak undangan berbicara yang diterima? Seberapa besar nama kita dikenal di lingkup pelayanan nasional atau internasional? Jika ini gejala yang kita alami, maka pelayanan tak lagi tentang memikul salib, melainkan tentang membangun citra. Khotbah tidak lagi tentang mewartakan Kristus yang disalibkan, melainkan tentang menarik perhatian. Tetiba, doa-doa kita pun beralih dari kehendak Allah, dan tertuju kepada pembenaran ambisi pribadi yang dibalut kata-kata rohani.
Bagaimana menghadapi rasa haus akan kemuliaan dunia ini? John Stott dalam bukunya The Cross of Christ mengungkapkan, bahwa tidak ada apa pun dalam sejarah atau di seluruh alam semesta yang merendahkan kita seperti salib. Kita semua cenderung memiliki pandangan yang membesarkan diri kita sendiri, sampai kita datang ke sebuah tempat yang disebut Kalvari.
Stott menegaskan bahwa di hadapan salib, semua kesombongan manusia dihancurkan. Kita diingatkan bahwa siapa pun kita, betapa pun besar pencapaian kita, tetap seorang pendosa yang bergantung sepenuhnya pada rahmat Allah.
Sebab itu, panggilan yang perlu didengarkan oleh setiap pelayan Kristus hari ini adalah panggilan untuk bertobat, yaitu insaf dari pencarian kemuliaan pribadi, bertobat dari mengukur keberhasilan dengan standar dunia, dan bertobat dari membangun citra diri atas nama pelayanan. Ini adalah panggilan kembali kepada spiritualitas Salib, kepada rute yang mungkin tampak sunyi dan tidak menguntungkan secara manusiawi, tapi di mana kita sungguh berjalan bersama Kristus, Sang Putra Allah yang disalibkan.
Di bawah bayang-bayang salib inilah pelayanan sejati berakar. Di sana pula sukacita yang tidak tergoyahkan dilahirkan. Dan, di sanalah, dalam ketaatan di tengah kerendahan, kemenangan sejati ditemukan. Sebuah kemenangan yang tidak diukur oleh popularitas dunia, tapi dihitung besar dalam pandangan Allah.
Penutup: Dipanggil Memikul Salib, Bukan Mahkota Dunia
Panggilan Kristus kepada kita sebagai para pelayan-Nya tetap tidak berubah: bukan mengejar mahkota dunia, melainkan memikul salib. Seperti kata bijak dari masa lalu: the road to heaven is paved with crosses. Jalan menuju surga dipenuhi dengan salib-salib. Kita tidak dipanggil untuk membangun nama besar atau mencari kehormatan manusia, melainkan untuk setia menapaki jalan kerendahan, penderitaan, dan ketaatan. Sebuah jalan yang mungkin tampak sempit dan berat, tapi di ujungnya terdapat kehidupan yang kekal.
Di setiap salib kecil yang kita pikul, kita sesungguhnya sedang berjalan mengikuti jejak Sang Juruselamat, yang lebih dahulu memikul salib-Nya untuk kita. Dan di jalan yang tampak hina itulah kemuliaan sejati dinyatakan. Di dunia yang silau pada kekuasaan, popularitas, dan kesuksesan lahiriah, Yesus berdiri dan memanggil dengan suara khas-Nya:
“Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Lukas 9:23).
Panggilan ini adalah jalan sempit menuju “kematian nafsu kedagingan.” Namun, dalam “kematian daging” itu, tersimpan janji kemenangan sejati: Bukan kemenangan yang dirayakan dengan sorak-sorai dunia, tapi kemenangan yang diperoleh dalam kebangkitan bersama Kristus, kemenangan yang tidak dapat dicuri oleh waktu, kehancuran, atau kematian itu sendiri.
Pelayanan sejati adalah ziarah panjang di Jalan Salib, sebuah rute di mana kita mungkin akan terluka, tersisihkan, bahkan merasa gagal di mata manusia; tapi di mata Allah, setiap langkah kecil dalam kesetiaan kita dihitung, dihargai, dan diberkati dengan mahkota kehidupan (Wahyu 2:10; Yakobus 1:12; Matius 24:13)
Marilah kita berdoa:
Tuhan Yesus Kristus,
Engkau yang telah lebih dahulu memikul salib demi keselamatan kami,
kuatkanlah kami untuk tetap setia menapaki jalan yang sama.
Ketika dunia menawarkan mahkota kemuliaan yang fana,
ajarlah kami untuk memilih salib yang Kau tawarkan.
Tanamkan dalam hati kami sukacita dalam ketaatan tersembunyi,
dan berikanlah kami pengharapan yang teguh akan kemenangan kekal.
Sampai akhirnya, ketika perjalanan ini usai,
kami menerima dari tangan-Mu sendiri
mahkota kehidupan yang tidak akan layu.
Amin.
Pastikan Anda tidak ketinggalan artikel terbaru kami lainnya!
Klik untuk DAFTAR
