Manusia adalah makhluk yang mencari makna hidup. Setiap orang berusaha memahami apa yang terjadi pada dirinya dan lingkungan sekitarnya. “Mencari makna hidup adalah ekspresi paling sejati dari keadaan menjadi manusia,” ujar Viktor Frankl, psikiater masyhur abad ke-20. Apakah makna hidup tertinggi manusia? Jika pertanyaan itu diberikan kepada khalayak, tentu bisa beragam jawaban yang didapatkan. Pada umumnya, anggapan yang muncul dalam benak orang adalah menjadi kaya raya merupakan makna tertinggi sebagai manusia. Atau bukan sekadar kaya, tapi juga kaya dan panjang umur, sehingga bisa menikmati kekayaan dunia begitu lama. Bahkan tidak hanya kaya dan panjang umur, melainkan juga ingin semua orang menyukai dia sepanjang hidupnya. Pemikiran seperti ini jamak kita jumpai.
Namun, seorang rohaniwan senior pernah mengatakan dalam khotbahnya, bahwa ada tiga makna kehidupan yang perlu diingat sebagai pengikut Kristus. Ketiga hal tersebut melampaui batas-batas waktu dan budaya, yaitu bahwa hidup: pertama, tidak tergantung kekayaan. Kedua, tidak tergantung pendek-panjangnya usia. Ketiga, tidak tergantung pendapat orang tentang kita. Sebagai anak Tuhan yang hidup dalam dunia penuh obsesi terhadap materialisme, popularitas, dan pengakuan, sangat penting bagi kita memahami makna hidup yang lebih dalam. Saat kita mengelola kompleksitas hasrat batiniah kita, mari kita menyadari tiga dimensi penting mengenai makna hidup yang terkandung dalam pernyataan ini:
Hidup tidak tergantung kekayaan
Kitab Suci mengingatkan kita bahwa Allah setia dan tidak akan membiarkan umat-Nya dicobai melampaui kekuatannya (1 Korintus 10:13). Jika Dia tidak akan membiarkan umat-Nya dicobai melampaui kekuatannya, maka Tuhan juga tahu takaran berkat jasmani yang tepat bagi umat-Nya. Tidak semua orang memiliki jatah berkat dan kepercayaan mengelola harta yang sama dari Allah di dunia ini. Pengertian ini sederhana, tapi seringkali terlupakan oleh sebagian anak Tuhan. Paulus menasihati dalam 1 Timotius 6:9-10, mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Ia menjelaskan alasannya karena “akar segala kejahatan ialah cinta uang.” Oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.
Tentu, ini bukan berarti anak Tuhan tidak boleh menjadi kaya secara materi, tapi yang dijadikan titik awas oleh Paulus adalah nafsu menjadi orang kaya dapat membuat seorang Kristiani terjatuh ke dalam pencobaan, bahkan jerat dan berbagai-bagai nafsu kosong dan mencelakakan, yang tiba pada gilirannya menenggelamkannya ke dalam keruntuhan spiritual. Pesan sabda Tuhan begitu sederhana terkait hal ini, “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah” (1 Timotius 6:8). Ayat ini mengingatkan kita akan pentingnya merasa cukup yang membuat seseorang dapat bahagia menjalani hidup. Jika Tuhan mengizinkan kita menerima dan mengelola harta yang lebih, mari bersyukur. Jika Dia hanya memberi kita hidup “sederhana,” pun kita diundang tetap bersyukur. Tepat seperti sabda Tuhan, “Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu” (1 Tesalonika 5:16-18).
Hidup tidak tergantung pendek-panjangnya usia
Perjalanan setiap orang di bumi ini memiliki durasinya masing-masing. Waktu yang kita miliki sangat terbatas, dan jumlah hari kita hanya diketahui oleh Allah sebagai Sang Pencipta. “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal,” ujar Pengkhotbah (3:1-2). Kitab Suci juga mengindikasikan, bahwa dalam mengejar hidup yang bermakna, bukan jumlah tahun yang penting, tetapi kualitas eksistensi kita ketika masih hidup. Dalam Kejadian 5:21-26 ada contoh sederhana yang bisa kita lihat,
Jadi Yared mencapai umur sembilan ratus enam puluh dua tahun, lalu ia mati. Setelah Henokh hidup enam puluh lima tahun, ia memperanakkan Metusalah. Dan Henokh hidup bergaul dengan Allah selama tiga ratus tahun lagi, setelah ia memperanakkan Metusalah, dan ia memperanakkan anak-anak lelaki dan perempuan. Jadi Henokh mencapai umur tiga ratus enam puluh lima tahun. Dan Henokh hidup bergaul dengan Allah, lalu ia tidak ada lagi, sebab ia telah diangkat oleh Allah. Setelah Metusalah hidup seratus delapan puluh tujuh tahun, ia memperanakkan Lamekh. Dan Metusalah masih hidup tujuh ratus delapan puluh dua tahun, setelah ia memperanakkan Lamekh, dan ia memperanakkan anak-anak lelaki dan perempuan.
Dibanding nama-nama lain dalam pasal tersebut, Henokh bisa dibilang paling “muda.” Namun, dalam usianya yang singkat itu, penulis Kitab Kejadian mengatakan, Henokh hidup bergaul dengan Allah. Maka, benarlah bahwa hidup tidak tergantung pendek-panjangnya usia kita, melainkan seberapa berkualitas perjalanan kita di dunia ini. Hidup yang bermutu adalah hidup yang diisi dengan pergaulan bersama Allah. Dalam bentuk konkretnya, kita hidup dengan kesadaran penuh bahwa setiap hari kita perlu melangkah dengan berserah penuh kepada Tuhan. Dimulai sejak pagi hari kita meluangkan waktu berkomunikasi dengan Bapa melalui doa dan saat teduh, juga dalam mengambil keputusan-keputusan berbicara dan lain sebagainya dalam keseharian kita. Markus mencatat, Yesus pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Yesus pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana (1:35), ini menunjukkan bagaimana eratnya pergaulan Yesus dengan Bapa-Nya setiap hari. Kita pun diundang meneladan Yesus untuk memiliki hidup yang bergaul dengan Allah.
Hidup tidak tergantung opini orang tentang kita
Tentu wajar jika kita ingin orang lain menyukai dan menghormati kita. Apa lagi jika kita hidup dalam komunitas. Sama seperti sikap manusia sejak dulu, peduli dengan apa yang orang lain pikirkan tentang kita adalah sebuah kecenderungan natural. Menurut Smithsonian National Museum of Natural History, bergabung dengan sebuah kelompok atau suku dan diterima oleh orang lain sangat penting untuk bertahan hidup. Pada zaman ini pun, manusia pada dasarnya membutuhkan komunitas untuk bertahan hidup, karena ia membutuhkan orang lain untuk berinteraksi dan bersahabat. Manusia adalah makhluk sosial, maka memperhatikan pendapat orang lain tentang diri kita adalah hal yang wajar dan sebagian besar tidak dapat dihindari.
Namun, terlalu mengkhawatirkan pendapat orang lain tentang diri kita dapat mengganggu kesehatan mental kita sendiri. Opini orang lain seharusnya tidak mengatur arah hidup kita, karena nilai kita tidak ditentukan oleh standar masyarakat atau pendapat orang lain. Pemazmur mengatakan, “Ujilah aku, ya TUHAN, dan cobalah aku; selidikilah batinku dan hatiku” (26:2). Hal ini menunjukkan bahwa yang terpenting dalam hidup orang percaya adalah beres atau tidaknya kondisi hatinya di hadapan Allah. Jika hati kita bersih di hadapan Tuhan, maka hal itu akan melahirkan dorongan untuk hidup yang elok dan baik di tengah masyarakat.
Sebagai anak-anak Tuhan, kita diciptakan dengan luar biasa dan ajaib, kita diajak menemukan ketenangan dalam kasih-Nya dan hidup dengan autentik, bebas dari belenggu validasi eksternal. Tentu, ini bukan berarti kita menjadi pribadi yang anti kritik atau tidak mau menerima masukan. Kita wajib mendengarkan pendapat dari orang-orang yang kita tahu memiliki integritas. Amsal mengatakan, “Dengan nasihat yang bijak, kamu dapat melakukan peperangan, dan dalam melimpahnya penasihat, ada kemenangan” (24:6 AYT). Bahkan, “Seorang sahabat memukul dengan tujuan baik, tetapi seorang musuh memeluk dengan maksud tersembunyi” (27:6 TSI). Jadi, memerhatikan pendapat orang bijak itu sangat penting. Di sinilah kebijaksanaan kita dalam memilah begitu penting.
Akhirnya. Makna hidup kita, sekali lagi, tidak ditentukan oleh seberapa banyak harta dunia kita, karena makna hidup sejati melampaui akumulasi kekayaan. Hidup juga tidak ditentukan oleh panjang-pendeknya durasi usia kita. Pula, makna hidup tidak bergantung pada pendapat orang lain tentang kita. Tentu, kita tidak dapat menyenangkan semua orang. Kitab Suci mengajak kita mencari kekayaan sejati dalam hal-hal spiritual dan hidup dengan autentik dalam tuntunan Roh Kudus (Galatia 5:16).
Pastikan Anda tidak ketinggalan artikel terbaru kami lainnya!
Klik untuk DAFTAR