“Uang adalah tuan yang jahat, tetapi pelayan yang sangat baik,” ujar Phineas Taylor Barnum suatu waktu. Meski singkat, pernyataan ini menyiratkan kebenaran penting tentang peran uang dalam kehidupan manusia. Maknanya mengacu pada pengertian: jika seseorang membiarkan uang mengendalikannya, uang dapat menjadi kekuatan yang merusak dalam hidup orang tersebut.

Sebagai contoh, jika seseorang selalu mengejar uang dan kekayaan materi di atas segalanya, ia bisa saja akan mengabaikan kualitas relasinya dengan keluarga, kesehatannya, dan kebutuhan spiritualnya. Jika fokus hidupnya hanya pada uang maka hal yang lain menjadi tersisihkan, bahkan hubungan dengan Tuhan bisa menjadi prioritas yang kesekian. Fenomena ini pun dapat merasuk ke dalam kehidupan seorang hamba Tuhan. Sebagai manusia biasa, seorang rohaniwan pun dapat menjadikan uang sebagai tuan.

Mengapa Uang Menjadi Tuan

Ada beberapa faktor yang mungkin dapat menyebabkan seorang hamba Tuhan menjadikan uang sebagai “tuan” dalam hidupnya. Pertama, kebutuhan dasar. Uang merupakan alat yang penting untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan pendidikan. Ketika seorang rohaniwan tidak memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhan tersebut, ini akan menjadi tekanan ekonomi yang menyesakkan, hingga ia bisa “terpaksa” mengutamakan pencarian uang sebagai prioritas utama dalam hidupnya.

Kedua, sifat konsumerisme. Budaya konsumeris yang meluas dalam masyarakat modern, terutama di kota-kota besar, sering kali mendorong orang untuk menganggap uang sebagai tujuan utama dalam hidup. Dorongan memperoleh kekayaan materi dan mengejar gaya hidup yang mewah pun dapat mempengaruhi motivasi hamba Tuhan dalam melayani, yaitu menumpuk uang.

Ketiga, pengakuan sosial. Dalam masyarakat yang seringkali mengukur kesuksesan berdasarkan kekayaan materi, tidak sedikit orang, termasuk hamba Tuhan, merasa terdorong untuk mencapai tingkat kekayaan tertentu agar dihormati dan diakui oleh orang lain. Hal ini pun bisa saja menyebabkan hamba Tuhan menjadikan uang sebagai tujuan utama hidupnya.

Meski uang dapat menjadi “jerat” yang memperbudak, sesungguhnya uang juga bisa menjadi pelayan yang sangat baik, jika kita menggunakannya untuk mencapai hal-hal yang baik.

Namun, meski uang dapat menjadi “jerat” yang memperbudak, sesungguhnya uang juga bisa menjadi pelayan yang sangat baik, jika kita menggunakannya untuk mencapai hal-hal yang baik. Sebagai contoh, uang dapat digunakan untuk mendukung kegiatan pelayanan diakonia atau misi, membantu orang lain yang membutuhkan. Hal itu tentunya akan memberkati banyak orang dan memberikan dampak positif pada kehidupan. Terlebih penting, itu dapat membawa orang memuliakan Tuhan.

Uang sebagai Pelayan, Bukan Pelayanan

Yesus mengatakan, “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Matius 6:21). Ayat ini adalah bagian dari Khotbah Yesus di Bukit yang mengingatkan bahwa hati dan harta kita saling berhubungan. Karena kesalingterhubungan ini, maka kita diajak untuk bijak dalam mengelola harta atau uang yang kita miliki. Hati manusia cenderung melekat kepada harta, tapi Yesus mendorong para murid-Nya menyadari perlunya melepaskan diri dari kelekatan mutlak terhadap harta atau uang.

Kunci utamanya bukanlah menolak uang, tetapi menguasai hati kita agar tidak diperbudak olehnya.

Jadi, kunci utamanya bukanlah menolak uang, tetapi menguasai hati kita agar tidak diperbudak olehnya. Dari kutipan Barnum di awal, kita diundang untuk memperlakukan uang sebagai pelayan, bukan sebagai tuan. Dalam kitab Matius, Yesus berujar bahwa tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. “Kamu akan membenci yang satu dan mengasihi yang lain, atau kamu akan mengabdi kepada yang satu dan menghina yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada uang” (Matius 6:24).

Ayat ini terasa penting ketika di dunia di mana kita hidup, uang menjadi sebuah kekuatan yang sangat kuat, yang sering kali mendikte tindakan dan keputusan setiap orang. Dalam mengejar kesuksesan pekerjaan maupun pelayanan Kristiani, tidak sedikit hamba Tuhan yang terjebak dalam upaya “mengumpulkan lebih banyak kekayaan pribadi” melalui pelayanan dengan memperalat ayat-ayat Alkitab yang sejatinya itu hanya memberikan kepuasan pribadi sang hamba Tuhan itu sendiri. Hal ini menjadi titik awas bagi kita.

Sebagai hamba Allah, kita dipanggil menjadi penata-layan dari umat dan sumber daya gerejawi yang dipercayakan kepada kita. Orang-orang yang melayani dan memberi sepenuh waktunya dalam pelayanan semacam ini tentu berhak hidup dari pelayanan tersebut. Gereja yang kuat secara finansial sudah sepantasnya memerhatikan hamba Tuhan yang mereka miliki beserta keluarga. Namun, dari sisi hamba Tuhan, prinsip kesederhanaan tentu perlu tetap dipegang dan dijalankan.

Berkat Tuhan Tidak Selalu Berupa Uang yang Banyak

“Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah,” ujar Paulus kepada anak rohaninya (1 Timotius 6:8). Ayat ini memberi prinsip hidup yang sederhana bagi Timotius maupun orang Kristen zaman ini. Maknanya, kita diajak hidup tidak berlebihan. Berkat Tuhan tidak selalu berupa uang yang banyak, tapi bisa juga kesehatan, kebijaksanaan, relasi yang saling menghargai, dan sebagainya. Ketika menjadikan motif memperkaya diri dengan uang sebagai bahan bakar pelayanan, kita akan terjerumus masuk dalam mental “menjadikan uang sebagai tuan,” meski dalam praktik tampaknya kita melayani umat.

Sekali lagi, tulisan ini tidak melarang siapa pun termasuk hamba Tuhan untuk memiliki uang. Melainkan sebagai refleksi bersama bahwa ketika uang menjadi sebuah tuan, maka kita kehilangan visi akan tujuan Allah sebenarnya bagi kita. Jika kita menjadi budak uang, kita akan terus berjuang mendapatkannya lebih banyak lagi, yang tiba gilirannya kita tidak akan pernah menemukan kepuasan.

Uang bukanlah tujuan akhir, melainkan alat yang memungkinkan kita untuk berdampak positif bagi dunia di sekitar kita. Alkitab mengajarkan kita bahwa cinta uang adalah akar dari segala macam kejahatan (1 Timotius 6:10), pula memperingatkan kita tentang bahaya menaruh kepercayaan pada uang dan mengabaikan hal-hal yang lebih penting di dalam hati. Sebaliknya, kita dipanggil untuk mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepada kita (Matius 6:33).

Ketika kita menjadikan uang sebagai hamba, kita melakukan pelayanan yang layak, dengan rasa tanggung jawab serta integritas, dan tidak terobsesi dalam pengejaran finansial. Kiranya Tuhan memberkati Anda dengan uang yang cukup bagi Anda dan keluarga, menguatkan Anda yang berjuang untuk menjadikan uang sebagai pelayan dan bukan sebagai pelayanan.

Baca Juga:

KEPUASAN: Cukup itu Puas

Semakin banyak yang kita miliki, semakin banyak yang kita inginkan. Kita bertanya, “Bagaimana saya dapat menemukan kepuasan sejati? Apa yang bisa memuaskan hidup saya? Apakah kepuasan mungkin diraih?”

Renungan terpilih dari Santapan Rohani ini akan menolong Anda menemukan kunci kepuasan hidup.

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan artikel terbaru kami lainnya.
Klik untuk DAFTAR