Jika sebagai pengkhotbah Anda sudah melayani umat lebih dari lima tahun, saya menduga Anda telah berkhotbah ratusan kali dalam karya pelayanan Anda. Kawan saya, seorang hamba Tuhan dari sebuah gereja bahkan mengaku pernah berkhotbah lebih dari 300 kali dalam setahun. Tentu ini bukan pekerjaan yang mudah, dan sudah pasti membutuhkan energi yang tidak sedikit. Dalam pelayanan pewartaan sabda, mungkin “wafat dan bangkit Kristus” adalah salah satu topik yang pernah Anda bawakan. Sebuah tema besar yang dianggap sebagai inti pengajaran iman Kristiani (bdk. 2 Timotius 2:8). Wafat dan kebangkitan Kristus merupakan dua peristiwa sentral, sehingga khotbah mengenainya memiliki tempat istimewa dalam kekristenan. Wafat Kristus merupakan kurban yang dipersembahkan demi menebus manusia berdosa, dan kebangkitan-Nya adalah kemenangan atas maut dan menyempurnakan pemulihan relasi manusia dengan Allah.

 

Yesus yang Populer

Sosok Yesus Kristus menjadi sentral dalam topik ini. Sebelum melanjutkannya, izinkan saya bertanya, apakah Anda tahu persamaan Joe Biden, Xi Jinping, Camilla Rothe, Jennifer Hudson, dan Sundar Pichai? Tentu tidak sulit menjawabnya. Mereka sama-sama masuk dalam daftar 100 orang terpopuler di tahun 2020 versi majalah Time. Figur-figur ini dianggap memberi pengaruh besar pada masyarakat di generasi mereka. Contohnya, Camila Rothe. Pada Januari 2020 lalu spesialis penyakit menular di Munich itu menjadi salah satu orang pertama yang mendokumentasikan infeksi Covid-19 tanpa gejala. Laporannya yang diterbitkan tentang penyebaran virus tanpa gejala pertama kali disambut dengan ketidakpercayaan, bahkan laporannya diremehkan. Tetapi, setelah banyak pasien mengalami kondisi tanpa gejala, laporan Camelia pun diterima secara luas. Di masa pandemi, adanya Orang Tanpa Gejala (OTG) menjadi salah satu tantangan terbesar dalam perang melawan pandemi corona. Temuan Camilia itu telah menyelamatkan banyak jiwa. Menurut Time, jika saja banyak orang mau mendengarkan dia sebelumnya, penyebaran lebih besar mungkin akan bisa dicegah.

Daftar 100 nama orang terpopuler berubah tiap tahun. Ada yang bertahan, ada pula yang terlempar ke luar. Namun, dari sekian banyak nama populer di setiap zaman di dunia ini, ada satu figur yang namanya selalu menempati posisi tertinggi dalam daftar orang terpopuler di lebih dari 2000 tahun terakhir. Namanya Yesus Kristus. Dailymail pada 15 Desember 2013 lalu melaporkan, Yesus adalah orang paling populer dan terpenting dalam sejarah menurut program pencarian internet baru. Nama Yesus disusul nama-nama tokoh besar lainnya, termasuk Aristoteles di peringkat 8, dan seterusnya. Software program yang dikembangkan di Amerika Serikat itu bekerja dengan cara menjelajahi internet untuk mencari pendapat warganet di seluruh dunia tentang orang-orang terkenal, dengan menggunakan algoritma khusus untuk melihat seberapa pentingnya pengaruh figur-figur populer itu hingga 200 tahun setelah kematian mereka. Yesus, Dia bukan hanya populer hingga 200 tahun setelah wafatnya, tetapi hingga kini pun namanya masih dibicarakan orang. Putra Maria itu selama ribuan tahun telah menjadi titik tengkar sekaligus titik perdamaian.

 

Yesus, Sang Allah-Manusia

Di dalam Yohanes 1:14, kita mengetahui bahwa Allah menyingkapkan diri-Nya dengan berbagai-bagai cara sampai dengan puncaknya, yaitu inkarnasi-Nya menjadi manusia Yesus. Namun pertanyaannya, “Mengapa Allah-manusia?” Atau, “Mengapa Pribadi ilahi dengan hakikat Allah (Sang Putra) harus menambahkan hakikat kemanusiaan menjadi hakikat-Nya juga?” Jika Dia Allah yang Mahakuasa, mengapa inkarnasi menjadi satu-satunya pilihan-Nya untuk menyatakan karya penyelamatan? “Mengapa Allah-manusia” (Cur Deus Homo)?

Pertanyaan ini bukanlah pertanyaan umum. Tidak juga dialamatkan kepada pikiran umum. Mengapa Allah (mengambil rupa) manusia adalah pergumulan khas komunitas Kristen, yaitu orang-orang yang mendapat sapaan intim dari Sang Pencipta. Ini pertanyaan untuk kita. Di dalam konteks inilah, Cur Deus Homo sejak awal memang tidak diarahkan kepada mereka yang tidak percaya, apa lagi sekadar untuk memuaskan dahaga intelektual mereka. Secara doktrinal, banyak usaha telah dilakukan dalam konteks teologis dan filosofis untuk mencari jawaban dari pertanyaan ini. Solusi yang ditawarkan Anselmus sudah lama berlalu dan tidak membuahkan hasil yang manis, bahkan masih menyisakan pertanyaan. Cur Deus Homo adalah suatu pertanyaan yang menuntut respons, ketimbang jawaban. “Mengapa Allah mengambil rupa manusia” bukanlah pertanyaan yang mengetuk pintu kognitif, melainkan menggedor-gedor gerbang hati yang berkarat.

Secara teologis, Cur Deus Homo dipahami sebagai pertanyaan batiniah manusia, yang merupakan respons terhadap panggilan dan tindakan Allah yang menantang, karena Ia telah mengutus Putra-Nya ke dalam dunia. Aksi Allah ini menuntut suatu respons yang penting, sehingga inti dari permasalahannya bukan terletak pada pertanyaan “Bagaimana?” melainkan “Mengapa?” dalam keperluan ontologis dan apriori. Kata “Mengapa” biasanya mengandung dua aspek umum, yaitu kepedulian pragmatis dan keperluan pemaknaan. Menerapkan orientasi pemikiran yang terarah pada pertanyaan teologis tentang Cur Deus Homo, sadar atau tidak sadar, kita selalu memusatkan perhatian kepada orang yang bertanya. Dalam hal ini, pertanyaan teologis menjadi pertanyaan antropologis, sehingga doktrin Kristen hanya akan melayani minat para pemercaya dan pertanyaan-pertanyaan mereka.

Sang Putra menjadi manusia dan berdiam di antara manusia karena kemauan Bapa-Nya (Yohanes 20:21). Tuntutan Allah adalah menghukum manusia berdosa, karena upah dosa adalah maut (Roma. 6:23), tetapi Ia rela mengutus Putra-Nya menggantikan manusia untuk menerima hukuman. Singkatnya, dalam drama ini Yesus Kristus harus memenuhi dua persyaratan sebagai Pengganti (penebus manusia berdosa): Pertama, Ia adalah manusia; Kedua, Ia tidak berdosa. Dan Yesus memenuhinya.

 

Melayani Dia yang Sudah Mati dan Bangkit

Pertanyaan “Mengapa Allah-manusia?” tahun demi tahun akan terus mewarnai hati orang percaya. Mungkin tidak banyak orang Kristiani yang menanyakannya, hanya yang bergumul serius dengan imannya yang melakukannya. Orang Kristiani sejati berkomitmen penuh menerima kedatangan-Nya sebagai Raja di atas segala raja, dan selalu mengingat “Kita hidup oleh iman kepada Putra Allah yang mengasihi kita dan memberikan diri-Nya bagi kita.” (Galatia 2:20). Jika Yesus adalah Allah-Manusia yang sempurna menebus umat manusia berdosa, maka berkhotbah tentang sosok Yesus yang sudah wafat dan bangkit itu merupakan undangan utama bagi setiap hamba Tuhan yang terpanggil untuk mewartakan pesan Injil.

Sebab, seperti yang Rasul Paulus katakan, “Bahwa Kristus mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, dan bahwa Ia dikubur dan bahwa Ia telah bangkit pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci” (1 Korintus 15:3-4). Pula, Yohanes menulis bahwa Yesus adalah pendamaian karena dosa-dosa kita, bukan hanya karena dosa kita saja, tetapi juga karena dosa seluruh dunia” (1 Yohanes 2:2). Dengan demikian, pewartaan mengenai Sosok Yesus memiliki implikasi yang saat mendasar, yaitu dipulihkannya relasi manusia berdosa dengan Allah yang Kudus. Khotbah yang menggali makna “wafat dan kebangkitan Yesus” dengan disertai aplikasi yang relevan dapat membantu umat memahami iman Kristen secara mendasar dan bagaimana rahmat Allah mengubah kehidupan kita.

Pada saat yang sama, realitas “Yesus yang Sudah Mati dan Bangkit” bagi seorang hamba Tuhan bisa membentuk landasan pemikiran, pelayanan, dan pengajarannya. Yang terpenting adalah kematian dan kebangkitan Yesus sudah selayaknya memberi model hidup dan pelayanan bagi seorang pelayan jemaat. Yesus adalah teladan sempurna dalam pengabdian, keberanian, kesetiaan, dan kasih. Hal ini bisa memotivasi pendeta, pelayan umat, dan seluruh jemaat untuk meniru karakter Kristus dalam pelayanan dan kehidupan sehari-hari. Yesus, melalui kematian dan kebangkitan-Nya, menunjukkan kesetiaan dan ketaatan yang sempurna pada kehendak Bapa (Filipi 2:5-10). Seorang pelayan Tuhan dapat memperoleh semangat dari keteladanan ini, sehingga hidup dalam ketaatan terhadap kehendak Tuhan dan memimpin jemaatnya dengan setia.

Di sisi lain, kebangkitan Yesus adalah bukti kekuatan Allah untuk mengatasi maut. Maka, dengan kuasa yang sama Allah pun sanggup menolong setiap pelayan Tuhan dalam segala kesulitan yang dihadapinya. Seorang pendeta ketika dihadapkan dengan tantangan dan kesulitan dalam pelayanan, dapat menemukan kekuatan dalam iman: bahwa Allah yang telah membangkitan Kristus itu juga akan memberikan kekuatan untuknya. Dengan demikian, seorang hamba Tuhan memiliki kekuatan memimpin jemaat yang mungkin juga melewati masa-masa sulit mereka. Dengan mengambil Yesus sebagai model hidup dan pelayanan, seorang hamba Tuhan dimungkinkan untuk mendapat kekuatan baru dan mampu memandu jemaat yang ia pimpin dengan integritas, kasih, dan keteladanan. Iman pada wafat dan bangkit Yesus menciptakan fondasi yang kukuh untuk pelayanan pastoral yang penuh makna dan mendorong pertumbuhan rohani jemaat.

 

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan artikel terbaru kami lainnya!
Klik untuk DAFTAR