“Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu.”
–Yesus Kristus

“Sabtu malam kusendiri, tiada teman kunanti,” demikian lirik lagu Koes Ploes yang berjudul Kisah Sedih di Hari Minggu. Tembang ini menggambarkan kesedihan seseorang yang merasa sendiri. Pernahkah Anda merasakan kesedihan atas kepergian seseorang yang begitu berarti dalam kehidupan Anda? Mungkin perasaan semacam itulah yang dirasakan oleh para murid Yesus ketika Guru mereka wafat di kayu salib. Setelah melewati Jumat yang mencekam karena pengadilan Yesus dan penyaliban-Nya di Golgota, hari Sabtu tampak menjadi hari yang “sepi” dan “diam.” Gereja menyebut hari itu sebagai Sabtu Sunyi.

Jika Jumat Agung mengingatkan kita akan fakta bahwa Yesus telah mati untuk manusia berdosa (Roma 3:23; Yohanes 3:16) dan Minggu Paskah adalah perayaan atas Yesus yang telah bangkit dari kematian (Matius 28:6; Lukas 24:6), Sabtu Sunyi terkesan jarang menjadi fokus dari khotbah-khotbah di mimbar. Mungkin ini disebabkan sifat dramatis dari Jumat Agung dan Minggu Paskah. Yesus berdiam diri pada Sabtu itu. Kitab Suci menunjukkan, para wanita telah mengurapi tubuh-Nya dan meletakkannya di kubur Yusuf (Matius 27:59-61). Jenazah Kristus sama bisunya dengan batu yang menjaganya. Yesus banyak berkata-kata pada hari Jumat, dan Dia akan memerdekakan para budak maut pada hari Minggunya, tetapi pada hari Sabtu, Yesus diam. Peristiwa Sabtu Sunyi dicatat dalam kitab-kitab Injil: Matius 27:59-61; Markus 15:42-47; Lukas 23:50-56; Yohanes 19:38-42.

 

Allah “Diam” di Hari Sabtu Itu

Yesus diam. Allah diam. Hari itu menjadi Sabtu yang bisu. Seorang penulis Santapan Rohani mengatakan, “Kita tidak terlalu memperhatikan Sabtu Sunyi, mungkin karena kita pikir tidak terjadi apa-apa pada hari itu.” Namun, dengan tepat ia menambahkan, “Fakta bahwa Yesus berbaring di dalam kubur pada hari Sabtu Suci sangat berarti bagi kita.” Ketika Yesus dikuburkan, semangat para murid tenggelam ke titik terendah. Kubur melambangkan kematian, kesedihan dan keputusasaan. Bayangkan jika Anda salah seorang dari murid-murid yang mencintai Yesus kala itu, tetiba Anda tidak lagi memiliki Yesus. Anda dan para murid pasti merasa bahwa mereka telah kehilangan pilar terpenting dalam hidup. Tidak ada lagi arah dan makna. Tetapi, kebenarannya: pada saat para murid berada dalam titik terendah itu, Yesus justru turun ke dalam Kerajaan Maut dan menang atasnya. Suatu momen yang para pengikut Yesus Kristus tidak sadari pada waktu itu.

Seorang teolog bernama Alan E. Lewis mengatakan, Sabtu Sunyi sebagai “penyangga dan pembatas” antara sengsara Jumat Agung dan kebangkitan di Minggu Paskah. Karena Jumat Agung dan Minggu Paskah merupakan dua peristiwa yang sangat berbeda, Sabtu Sunyi bertindak sebagai batas yang menjaga kedua Hari Besar dalam iman Kristen tetap berbeda sekaligus menghubungkan keduanya ke dalam kisah tiga hari yang utuh, ujar Lewis. Ini menunjukkan bahwa Sabtu Sunyi adalah hari yang signifikan dan penting dalam tradisi Kristiani, di mana momen itu diimani bahwa Yesus turun ke dalam Kerajaan Maut dan menang atasnya (1 Petrus 3:19; 4:6; Kisah Para Rasul 2:27; Roma 10:7). Dalam konteks iman Kristen, “Sabtu Sunyi” dapat memiliki makna yang khusus umat Kristiani. Pertama, ia merupakan persiapan kebangkitan Kristus. Sabtu Sunyi adalah momen di mana jenazah Yesus masih berada dalam makam. Namun, meski jenazah itu terbaring dalam kesunyian di sana, momen itu justru merupakan kesunyian di tengah kemenangan. Karena kuasa maut dikalahkan dan kemenangan kehidupan abadi dimulai (1 Petrus 3:18-19). Ini sejalan dengan Kisah Para Rasul 2:23-24 yang menyatakan, “Sesuai dengan rencana Allah yang sudah ditetapkan-Nya sejak dulu, Yesus sudah diserahkan kepada kalian. Lalu dengan bantuan orang-orang yang tidak mengenal Allah, kalian membunuh Yesus dengan memakukan Dia pada kayu salib. Tetapi sekarang Allah sudah membangkitkan Dia dari kematian dan membebaskan Dia dari cengkeraman kuasa kematian, karena kuasa itu tidak mungkin menahan Dia” (TSI). Kedua, Sabtu Sunyi adalah waktu persiapan spiritual yang penting sebelum perayaan Paskah. Ini adalah waktu bagi orang percaya untuk merenungkan makna kematian dan kebangkitan Kristus serta mempersiapkan hati menyambut hari kebangkitan.

 

Allah Tidak Meninggalkan Kita

Sabtu Sunyi menunjukkan bahwa kesendirian atau kesepian mungkin saja bisa dirasakan dan dialami oleh umat Tuhan. Ada momen seakan Allah membiarkan kita sendiri. Namun, Paskah membuktikan bahwa Allah tidak akan membiarkan kita sendirian dan Dia hadir untuk menyertai kita dalam segala keadaan. Daud dalam Mazmur 23:4 (TB) mengatakan “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.” Daud menegaskan bahwa meskipun dia mungkin menghadapi situasi yang gelap dan menakutkan dalam hidup kita, dia tidak perlu takut karena Allah menyertainya. “Gada dan tongkat” yang disebutkan di sini adalah lambang dari kehadiran, kekuasaan, dan perlindungan Allah atas umat-Nya.

Penulis Ibrani 13:5 (TB) mengingatkan, “Janganlah kamu takut, sebab Aku menyertai engkau; janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu. Aku akan menopang engkau dengan tangan kanan-Ku yang benar.” Nas ini mengingatkan janji Allah bahwa Dia akan menyertai umat-Nya dan menopang dengan tangan-Nya yang kuat dan benar. Ini adalah jaminan bahwa kita tidak akan ditinggalkan sendirian dalam perjalanan hidup kita, karena Allah sendiri berada di sisi kita. Kedua bagian sabda Tuhan itu, bersama dengan banyak ayat lain dalam Alkitab, menegaskan bahwa Allah hadir menyertai umat-Nya, memberikan perlindungan, bimbingan, dan kekuatan di tengah-tengah tantangan dan kesulitan hidup. Oleh karena itu, meski melalui masa-masa yang tidak mudah, kita diundang tetap percaya pada janji Allah yang tidak pernah meninggalkan atau membiarkan kita sendirian.

Meski demikian, jika Tuhan mengizinkan dan menggunakan kesendirian dalam hidup kita, hal tersebut dapat menjadi kesempatan untuk meningkatkan kerinduan kita akan hadirat Roh Kudus (Yohanes 16:4-7). Mark Ballenger, seorang konselor Kristen, mengatakan bahwa kesepian kita adalah nyata. Namun pada akhirnya, hal itu adalah simbol yang menunjukkan kepada kita hubungan terpenting yang dibutuhkan hati kita dengan Kristus.” Artinya, kesendirian dapat menjadi sarana bagi kita untuk melatih iman dan semakin mencintai Allah, meski Dia seakan diam bahkan tidak ada. Lantas, bagaimana langkah konkretnya latihan rohani untuk dapat tetap beriman bahwa Allah tidak akan membiarkan kita sendirian? Usul saya, kita dapat melakukan beberapa langkah praktis, antara lain:

  1. Merenungkan baik-baik sabda Tuhan. Kita boleh meluangkan waktu setiap hari untuk membaca renungan Santapan Rohani dan merenungkan kalam Allah dalam Alkitab. Kita diajak membaca baik-baik setiap kalimat yang kita baca, pula menilik kembali ayat-ayat yang menguatkan di saat lemah, seperti Yesaya 41:10; Mazmur 23:4; Filipi 4:6 dapat memberikan kekuatan dan keyakinan yang dibutuhkan untuk tetap beriman. Yesus berjanji, “Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu” (Yohanes 14:8);
  2. Kita diundang berdoa secara konsisten kepada Allah dan meminta Dia memperkuat iman kita dan memberikan kekuatan di saat-saat sulit. Kita boleh berbicara dengan Allah seperti kita berbicara dengan seorang teman yang setia;
  3. Kita perlu bergabung dengan komunitas Kristiani, di mana kita dapat berbagi iman dan pengalaman dengan sesama percaya. Menjadi bagian dari komunitas iman yang mendukung dapat memberikan dorongan dan penghiburan saat Anda merasa sendirian. Sabtu Sunyi bisa saja terkesan suram. Namun, secara spiritual kita percaya ini adalah hari di mana persiapan kemenangan kita sedang dilakukan. Sabtu Sunyi waktu bagi kita merayakan kemenangan sejati yang telah diberikan Kristus. Dia tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Mari merenungkan makna kematian dan kebangkitan Kristus serta mempersiapkan hati menyambut perayaan Hari Kebangkitan.

 

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan artikel terbaru kami lainnya!
Klik untuk DAFTAR